Rekomendasi Hari Ini

Jumat, 26 April 2013

Setetes darah dan sebuah peluru






Setetes darah tak berarti apa-apa lagi
Semuanya angkuh tak mengakui darah yang berceceran
Mereka tak butuh itu,
Senyum merekah tatkala gelondongan senjata diantarkan
Pertanda darah akan kembali tumpah
Merobek tanah tandus kering dengan aroma darah segar
Tangis anak kecil tak kedengaran lagi..
Dikalahkan kegarangan dentuman senjata
Tak ada doa dan harapan lain selain bermimpi
Bahwa semoga, esok masih 24 jam
Masih ada waktu untuk sedikit bernapas, menatap warna langit
Kebebasan apa yang mereka inginkan?
Kedaulatan omong kosong apa lagi yang mereka perjuangkan?
Darah benar-benar tak berarati apa-apa
Tak usah lahir jika kehidupan dipersiapkan untuk menyambut
Kematian yang  menyiksa
Darah pun menetes…kemengangan sebutir peluru kembali dipertontonkan…


Minggu, 21 April 2013

Merekam Jejak Kota Masa Lampau dan Masa Kini


Hampir dua tahun saya menetap di kota yang terkenal dengan kulinernya Yogyakarta, saya akhirnya tertarik beberapa hal selain kuliner, dan wisatanya yaitu mengenai sistem tata kota di Yogyakarta, karena menurut saya tata kotanya cukup unik dan sarat dengan nilai-nilai filosofis. Pola tata kota Yogyakarta memiliki ciri khas yang tidak sama dengan kota lain di Indonesia, beberapa kota di Indonesia berkembang dari kawasan yang berada disekitar pelabuhan, kemudian tumbuh pemukiman baru dan semakin meluas membentuk pola menyerupai amoeba.
Yogyakarta tidak demikian, terdapat garis sumbu imajiner tegak lurus yang menghubungkan Merapi, Keraton Yogya dan Pantai Selatan (Parangkusumo). Sumbu Utara-Selatan memegang peranan penting dalam pembangunan kota di Kerajaan Jawa dengan kraton sebagai pusat sumbunya. Tata kota Yogyakarta juga berbentuk grid dengan posisi alun-alun dan keraton yang berada di tengah kota. Manfaat yang saya rasakan adalah kenyamanan saat berkeliling kota, kita tidak akan kebingungan karena pola jalan berbentuk grid membentang dari utara hingga selatan. Karena berbentuk grid, maka ada banyak ruas jalan alternatif di kota ini, pola grid untuk ruas jalan seperti ini juga bertujuan untuk mengurai kemacetan.


Garis Imajiner Yogyakarta
Sumber:Kabar11.com



Pada masa Reinassance, beberapa kota di Eropa seperti Italia, Perancis, Jerman dan Inggris memiliki sistem tata kota yang berbentuk grid. Garis tengah atau sumbu kota yang diperindah memberi simbol akan kecermelangan para raja/penguasa pada masa itu. Pada bagian tengah kota terdapat bangunan monumental dan bangunan suci yang digunakan untuk kegiatan keagaman.


Piazza San Marco



Tata kota Mohenjo Daro tak kalah apiknya dalam sistem tata kota Yogyakarta. Mirip dengan kota Yogyakarta, Mohenjo Daro juga memiliki sistem jaringan jalan yang membentang dari utara hingga selatan dan timur hingga barat. Tata massa bangunan juga berbentuk grid, sehingga terlihat lebih teratur dan membentuk hirarki.



Sistem tata kota Mohenjo Daro


Tatanan kota seperti yang ada di Yogyakarta dan Mohenjo daro menurut saya lebih mirip dengan konsep Compact City, model Compact City sangat efektif untuk dikembangkan untuk mengurai berbagai masalah perkotaan yang sangat kompleks. Model Compact City bertujuan untuk memadatkan berbagai bangunan yang memiliki fungsi sosial dalam satu kawasan agar warga kota dapat menghemat waktu perjalanan dan mengurangi emisi karbondioksida. 

Kota yang menyebar  akan membentuk sistem transportasi yang tidak terintegrasi, akibatnya kemacetan lalulintas mewarnai setiap jalan utama perkotaan, emisi yang terbuang di udara tak terhindarkan lagi. Tata kota pada masa lampau menunjukkan peradaban pada masa itu begitu tinggi, mencirikan masyarakatnya juga beradab, memiliki nilai estetika dan sarat nilai filosofis. Saya mendambakan kota di Indonesia juga demikian, memiliki karakter dan identitas, tidak seperti yang ada sekarang, suasana kota seakan menggiring kita ke dalam labirin kota, membuat warga kota semakin bingung di kota sendiri.

Melestarikan Hutan ala Suku Kajang


Praktik penebangan kayu sudah dimulai sejak tahun 3.500 SM di Mesopotamia sekitar pemerintahan kerajaan Sumeria. Praktik penebangan kayu (timber extraction) telah berlangsung selama 4 milenium, bisa dibayangkan berapa luas hutan yang telah habis untuk berbagai macam kegiatan salah satunya adalah perdagangan. Berdasarkan data Simon (1999), disebutkan bahwa negara di Eropa membutuhkan waktu 1.300 tahun untuk menghabiskan kayu dari hutan alam yang ada, 1.000 tahun untuk hutan alam jati di Jawa, dan 20 tahun untuk hutan meranti di luar Jawa. 

Praktik penebangan hutan yang terjadi begitu cepat di Indonesia, disebabkan karena Indonesia merupakan negara berkembang yang membutuhkan dana yang besar untuk melakukan pembangunan. Sebelum bangsa Indonesia merdeka, Belanda dengan VOC-nya telah menguasai penebangan hutan jati, sehingga pada tahun 1650 kerusakan hutan mulai menunjukkan laju yang nyata. Tidak mengherankan pada awal abad ke- 19 hutan jati di Jawa dinyatakan rusak berat. Setelah kemerdekaan, pemerintah Republik Indonesia mengundang para pemilik modal untuk menggarap habis seluruh hutan di Pulau Jawa. Oleh penduduk setempat, areal bekas tebangan digunakan oleh penduduk untuk membuka lahan baru yang digunakan untuk kegiatan pertanian.

Bahkan awal berdirinya kerajaan-kerajaan bermula di atas tanah subur yakni hutan, kemudian semakin lama kerajaan semakin besar karena memanfaatkan hutan untuk kegiatan perdagangan dengan negara tetangga. Merunut sejarah pembukaan lahan hutan tersebut, dapat dikatakan bahwa sejak dahulu kegiatan pembalakan pohon di hutan atas dasar kepentingan pemerintah pada saat itu, kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Keuntungan finansial melalui kegiatan “ekonomi hutan” tidak sebanding dengan kerugian yang ditimbulkan. 

Dampak linkungan, rantai ekosistem terganggu, akibatnya berbagai wabah penyakit, virus semakin mudah menyerang umat manusia. Dampak bencana alam seperti tanah longsor dan banjir bandang juga menelan banyak korban jiwa dan kerugian materi. Namun seakan tidak memberi efek jera, pembalakan liar terus saja berlangsung, bahkan yang sangat memprihatinkan karena setiap departemen yang berwenang memiliki standar penghitungan sendiri dalam menetapkan status fungsi kawasan hutan, akibatnya hutan yang seharusnya menjadi hutan konservasi berubah fungsi menjadi hutan produksi.

Melestarikan Kearifan Lokal, Menyelamatkan Hutan
Pemanfaatan kayu hutan untuk menghasilkan kertas, tisu dan berbagai macam perabotan rumah tangga menjadi sesuatu yang dilematis dan kompleks. Kita dihadapkan dengan ancaman lingkungan dan sisi lain tuntutan ekonomi mutlak harus terpenuhi. Pola hidup hedonis menggerogoti seperti kanker dalam kehidupan manusia. Di tempat lain, tepatnya di Kabupaten Bulukumba terdapat satu suku yang sangat menjaga kelestarian hutan mereka. Suku ini dikenal dengan nama suku Kajang. Prinsip ekologi yang dianut oleh masyarakat suku Kajang disebut “tallasa kamase-mase”. 

Prinsip ini diterapkan dalam kehidupan masyarakat suku kajang yang dicirikan dengan masyarakat yang hidup sederhana dan bersahaja. Suku Kajang membagi kawasan hutan ke dalam tiga bagian yaitu: hutan Borong Karamaka atau hutan keramat, hutan Borong Batasaya, hutan Borong Luara. Pembagian zona kawasan hutan ini berfungsi untuk mengajarkan kedisiplinan bagi warga untuk mentaati peraturan yang dibuat oleh ketua adat. Secara psikologi juga berfungsi untuk menekan sifat rakus manusia terhadap alam. 

Selain suku Kajang, masyarakat Kampung Naga juga dikenal dengan pemeliharaan hutan konservasinya, masyarakat Kampung Naga memiliki sistem pemanfaatan lahan yang menjunjung tinggi prinsip keberlanjutan sumberdaya alam dan manusia yang tertuang dalam struktur ruang menyerupai sistem anatomi tubuh manusia. Suku Kajang maupun masyarakat Kampung Naga telah mengajarkan kita bagaimana mengelola dan memanfaatkan hutan dengan kearifan lokal yang mereka miliki. Nilai-nilai kearifan inilah yang sepatutnya menjadi pembelajaran bagi kita semua, dan senantiasa mengingatkan kita bahwa pola hidup sederhana dan menjaga alam akan menyelamatkan kelangsungan hidup umat manusia selamanya.


Lokasi kawasan Suku Kajang

Bernapas tanpa Paru-paru







Sumber gambar: CIFOR dan WWF 2007


Setiap detik kita kehilangan hutan seluas 1 ha , penebangan hutan menyebabkan  sekitar 137 jenis tanaman musnah, spesies hewan dan serangga hilang setiap hari. Dampak dari kehilangan hutan ini menyebabkan munculnya berbagai macam wabah penyakit. Selain itu kita teramcam kehilangan sekitar 25 % sumber obat-obatan berasal dari spesies tanaman yang terdapat di dalam hutan. Pada tahun 2005 tercatat sekitar 0.89 juta meter kubik kayu yang dihasilkan dari illegal loging Sedangkan hutan di Indonesia luas hutan yang rusak dan tidak berfungsi dengan optimal mencapai 59,6 juta hektar.  

Kerusakan hutan selain merugikan manusia juga merugikan habitat yang hidup di dalam hutan, seperti di Kalimantan populasi orang utan dan bekantan semakin berkurang. Selain itu bencana alam seperti banjir bandang semakin sering terjadi, akibat perubahan pemanfaatan penggunaan lahan untuk kawasan hutan lindung berubah menjadi kawasan hutan dengan pemanfaatan terbatas. Perubahan pemanfaatan lahan inilah yang memberi celah bagi beberapa pihak untuk melakukan eksploitasi sumberdaya alam hutan seperti pembalakan liar.

 Beberapa negara di Amerika Latin seperti Brazil, Mexico, Ekuador dan Wilayah Caribia (LAC Latin America and  Caribbean Region) bekerja sama dengan Bank Dunia memberikan investasi dalam mendukung program pemerintah dengan membentuk sebuah institusi yang bergerak dalam bidang konservasi keanekaragaman hayati. Program utama yang dicanangkan adalah menata manajemen lahan untuk kehutanan tanpa melanggar prinsip-prinsip perlindungan bagi kawasan hutan konservasi. Negara Kolumbia, Kosta Rika dan Nikaragua berhasil meningkatkan dan mengembangkan sistem pertanian berkelanjutan yang berintegrasi dengan daerah pinggiran. 

Selain itu pemerintah bekerjasama dengan komunitas lokal dalam pemeliharaan hutan yang bertujuan menjaga kualitas sumber air bersih. Tidak jauh berbeda dengan negara Kolumbia yang memanfaatkan peran serta masyarakat lokal, negara Brazil menciptakan sebuah master plan konservasi hutan dengan misi inovasi, partisipasi masyarakat, dan membangun jaringan bersama masyarakat lokal. Manfaat yang diperoleh kedua negara tersebut adalah terpenuhinya kebutuhan air bersih sehingga mampu menyuplai air bersih secara merata di seluruh wilayah perkotaan. Sistem penyaluran air bersih yang diciptakan adalah dengan menggunakan teknologi hydroelectricity. Teknologi hydroelectricity merupakan pemanfaatan potensi air dengan menggunakan tenaga hidro untuk menggerakkan turbin air dan generator.

Di Indonesia Rencana Tata Ruang Wilayah sebagai dokumen perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian ruang telah menetapkan status hutan dalam suatu daerah yang berfungsi menjadi hutan konservasi dan hutan dengan fungsi pemanfaatan terbatas. Konsekuensinya dengan menjaga kelestarian hutan setara dengan kontribusi dalam upaya mitigasi perubahan iklim dan penyelamatan lingkungan hingga tahun 2050. Melindungi area hutan 272.ooo km² dari pembalakan liar, juga sebanding dengan menyelamatkan udara dari emisi karbon hingga 3,3 gigaton karbon. 

Akan tetatpi hal ini menjadi sesuatu yang absurd karena sekalipun kita mengetahui manfaat melestarikan hutan bagi kelangsungan seluruh mahluk hidup di muka bumi ini, tetap saja aksi pembalakan liar, merusak ekosistem hutan terus berlangsung. Ketika bencana alam terjadi, semua kembali merenung, berpikir, namun setelah itu semua kembali seperti semula, jadi bukan tidak mungkin sebentar lagi kita menyambut “kehidupan baru”, mari “bernafas tanpa paru-paru”.






Gambar:CIFOR dan WWF 2007


























“Bissu” Tergerus dalam Kegamangan Gender



Ilustrasi:rgbstock.com

Meskipun dia laki-laki, jika memiliki sifat keperempuanan, dia adalah perempuan; dan perempuan, yang memiliki sifat kelaki-lakian, adalah lelaki (mau’ni waraoane’mua na makkunrai sipa’na, makkunrai mui; mau’ni makkunrai na waroane’sipa’na, waroane mui) (Pelras, 2003:186)


       Jika beberapa tahun silam kehidupan transgender belum mendapat perhatian publik dan diekspose secara mendalam, bisa disebabkan karena sebagian besar masyarakat masih menganggap tabu seseorang yang memutuskan untuk menjadi seorang transgender. Dipandang dari sisi agama, transgender tidak mendapat pembenaran bahkan transgender dianggap sebagai suatu penyimpangan seksual. Bahkan banyak dari mereka terpaksa merahasiakan “jatidiri” transgendernya agar tidak mengalami pengucilan dari keluarga dan masyarkat.  Transgender bukan kesalahan genetik yang dibawa sejak lahir, kebanyakan yang melakukan transgender adalah karena pengaruh lingkungan sosial dan gaya hidup. Pengalaman masalalu dan lingkungan yang membentuk kepribadian transgender sewaktu kecil memberi pengaruh besar terhadap pembentukan sifat dan karakter sehingga mengangap bahwa naluri yang ada dalam diri “transgender” bertolak belakang dengan bentuk fisik pada tubuh transgender.

         “Terjebak” dalam ciri-ciri  fisik sebagai seorang pria namun memiliki naluri wanita merupakan salah satu tekanan psikologis yang dialami para transgender. Lantas bagaimana dengan bissu?, komunitas Bissu di Sulawesi Selatan dianggap sebagai pendeta atau wanita adam yang menjadi perantara manusia dan dewata. Penampilan sehari-hari para bissu berdandan dan berpenampilan layaknya seorang wanita. Mereka yang memilih menjadi bissu, tidak ada ada korelasi dengan naluri wanita yang mendominasi dalam tubuh pria, melainkan karena mendapat petunjuk melalui mimpi dan memiliki kelebihan khusus dibandingkan dengan pria pada umumnya. 


(gambar:www.timur-angin.com)


         “Terjebak” dalam ciri-ciri  fisik sebagai seorang pria namun memiliki naluri wanita merupakan salah satu tekanan psikologis yang dialami para transgender. Lantas bagaimana dengan bissu?, komunitas Bissu di Sulawesi Selatan dianggap sebagai pendeta atau wanita adam yang menjadi perantara manusia dan dewata. Penampilan sehari-hari para bissu berdandan dan berpenampilan layaknya seorang wanita. Mereka yang memilih menjadi bissu, tidak ada ada korelasi dengan naluri wanita yang mendominasi dalam tubuh pria, melainkan karena mendapat petunjuk melalui mimpi dan memiliki kelebihan khusus dibandingkan dengan pria pada umumnya.

           Masyarakat Bugis bahkan menempatkan “bissu” secara berimbang dalam stratifikasi  sosial. Para bissu juga tidak menikah, untuk mengendalikan libido disebutkan dalam tradisi bugis terdapat ajaran “paneddineng parinnyameng” atau khayalan yang membawa nikmat berupa tindakan memuaskan seks tanpa berhubungan seks. Akan tetapi keberadaan bissu saat ini hanya menjadi komoditas, sudah tidak dianggap suci lagi. Sentimental berlebihan dan membabibuta pada pelaku transgender dalam kehidupan bermasyarakat menyebabkan “pengaburan” klasifikasi gender bahkan definisi gender sekalipun. Masyarakat pada umumnya hanya menerima dua status dan jenis gender yang dianggap normal yaitu pria dan wanita, jika ada yang “lebih” maka dianggap abnormal. Berkoar-koar untuk kesetaraan gender juga nampaknya tidak berlaku bagi transgender.

          Sikap ekstrimis yang terbentuk terhadap sesuatu yang dianggap “abnormal” menyebabkan masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk mengenal, memahami apalagi menerima. Akibatnya adalah secara sadar atau tidak kita telah mencederai budaya adat, tradisi, dan kekayaan lokal yang termanifestasikan dalam kehidupan bermasyarakat dalam wujud tidak biasa seperti lakon Bissu. Keberadaan Bissu merupakan representasi nilai sosio-kultural masyarakat Bugis yang memiliki peran besar dalam melestarikan adat serta menjadi simbol kesucian. Penyerobotan dalam penyematan status gender dalam masyarakat telah menimbulkan kemerosotan cara pandang terhadap kearifan lokal yang berkaitan dengan “klasifikasi gender”. Tidak mengherankan jika sedikit demi sedikit kebudayaan bersumber dari kearifan lokal semakin menjauh dari kehidupan sehari-hari, pemerintah selayaknya turut  andil dalam menjaga eksistensi para Bissu dan tetap dihargai sebagai sistem nilai budaya dan filosofis yang harus dijunjung tinggi.



Kamis, 18 April 2013

“Putri” yang Hilang





Gelaran pemilihan putri yang berlangsung sepanjang tahun hingga sekarang masih memiliki format agenda yang sama sepanjang tahun. Putri yang terpilih akan dipersiapkan mengikuti gelaran pemilihan putri sejagad yang akan mempertemukan seluruh jawara putri dari berbagai negara. Dengan slogan brave, beauty and behavior, dirasa cukup untuk mewakili semangat perempuan dalam melakukan perubahan besar dalam kehidupan sosial masyarakat. Namun dengan perkembangan zaman dan semakin kompleksnya permasalahan yang terjadi saat ini, rasanya beberapa hal terkait penyelenggaraan pemilihan putri perlu mempertimbangkan esensi tujuan penyelenggaraan kontes pemilihan putri agar acara serupa benar-benar mengangkat peran perempuan dan kedudukan perempuan dalam masyarakat yang tidak bisa dipandang sebelah mata.

Tema serta sistem pemilihan di tingkat provinsi serta berbagai persyaratan yang diajukan sebagai prasyarat pemilihan putri sebagian sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman saat ini. Wawasan, penampilan menarik, bakat, kemampuan berbahasa Inggris, memang sudah seharusnya dimiliki oleh seorang calon kontestan. Dalam hal ini, yang perlu menjadi bahan koreksi adalah, seperti apa persepsi kita terhadap gelar “putri”? apakah brand yang disematkan untuk “calon putri” sudah relevan dengan kondisi ril perempuan Indonesia saat ini?. Memasukkan krtiteria tinggi badan dan berpenampilan menarik secara tidak langsung telah menutup akses bagi perempuan “di bawah standar” untuk berpartisipasi dalam ajang tersebut. Selain itu kemasan acara yang dibuat glamor dan ekslusif, hanya meninggalkan kesan bahwa gambaran mengenai kiprah “putri” mutlak memiliki kesempurnaan seperti apa yang ditampilkan. Kegiatan pemilihan putri sejagad jangan hanya mengadopsi tema besar acara serupa yang diselenggarakan di luar negeri, perlu penyesuaian tema dan kriteria pemilihan yang lebih selektif.

Acara pemilihan putri sejagad perlu melakukan terobosan baru dalam proses seleksi. Generasi muda khususnya kaum perempuan yang berperan aktif dalam kegiatan sosial, pendidikan, lingkungan dan kemasyarakatan perlu mendapat apresiasi dengan memberikan peluang bagi mereka untuk berkontribusi dalam pemilihan putri sejagad. Apabila kegiatan sosial yang dilakukan pemenang kontes putri sejagad hanya menjadi agenda tahunan selama masa jabatan putri berjalan, maka bisa dikatakan kegiatan seperti ini hanya menciptakan “putri tahunan” saja.

Sebenarnya, jika kita mau berbenah dan ingin meningkatkan kualitas penyelengaraan putri sejagad, sedikit inovasi bisa kita lakukan asalkan kita berani (sesuai slogan putri: brave). Memilih putri melalui hasil kontribusi mereka terhadap lingkungan, pendidikan, sosial, masyarakat dan budaya yang berlangsung jauh sebelum pemilihan putri berlangsung. Membuat film dokumenter mengenai kegiatan kepedulian sosial kegiatan inspiratif dan inovatif yang dilakukan oleh perempuan Indonesia. Sekalipun melalui tawaran konsep yang baru ternyata mengurangi esensi acara “turunan” yang ada di luar negeri, bukan hal mustahil dengan cara ini kita melakukan sesuatu yang berbeda dengan yang sudah ada, jika berhasil tentu bisa menjadi contoh dan merubah pola pikir masyarakat kita bahwa “putri” hasil ajang pemilihan kontes putri sejagad benar-benar dinilai dari kontribusi mereka terhadap lingkungan sekitar jauh sebelum terpilih menjadi putri. Harapannya peran “putri” dalam kehidupan bermasyarakat, lingkungan dan khususnya dunia kaum wanita lebih progresif dan memberi banyak kemajuan sehingga menginspirasi seluruh perempuan Indonesia untuk berkiprah disetiap lini kehidupan.

Rabu, 17 April 2013

Merayap dalam Laboratorium


Dalam praktik ilmu kedokteran media tikus sering digunakan untuk mendukung riset dan percobaan medis yang dilakukan. Tikus digunakan sebagai media percobaan karena  memiliki sistem karakteristik biologis yang mirip dengan manusia. Dalam bergerak tubuh tikus dan manusia juga didukung oleh sistem saraf yang terbagi menjadi  dua, yaitu sistem saraf tepi dan sistem saraf pusat. Pusat bibit hewan uji coba jenis binatang pengerat di Beijing bahkan menyediakan 30.000 ekor tikus untuk pemesanan dari 20 provinsi di Beijing. Tikus selain digunakan sebagai bahan percobaan medis, saat ini juga telah digunakan untuk memproduksi Antibodi Monoklonal. Antibodi monoklonal adalah imunoterapi yang digunakan sebagai dasar terapi kanker. Antobodi monoklonal inilah yang berfungsi mencari sel kanker bersifat antigen dalam tubuh manusia yang berfungsi untuk membantu tubuh bertahan melawan penyakit dan menghancurkan sel kanker. 
  
www.google.com

Di sisi lain tikus merupakan hewan parasit dan musuh manusia, karena tikus selalu merusak tanaman padi, akibatnya petani sering mengalami gagal panen. Obat-obatan pembasmi tikus dengan berbagai merk juga banyak beredar di pasaran, menunjukkan bahwa betapa tikus memang harus dibasmi. Salah satu bencana pada masa lalu yang dikenal dengan sebutan Black Death juga disebakan oleh bakteri yang tersembunyi dalam bulu hitam tikus. Pada tahun 1348-1350 tercatat sekitar 25 juta penduduk di Eropa yang meninggal dunia. Di negara Jerman dikenal juga adanya fenomena raja tikus, tikus mengelompok hingga 32 ekor kemudian membuat jaring benang kusut dengan ekor. Fenomena ini dianggap sebagai tipuan, namun belakangan ditemukan fosil mumi tikus hitam di perapian miller di  Jerman pada tahun 1828.

Perkembangan dunia medis dan teknologi serta dukungan berbagai hasil riset telah membuktikan bahwa mahluk hidup di muka bumi khususnya tikus ternayata dapat memberi manfaat besar dalam dunia medis dengan hadirnya antibody monoclonal misalnya dan tidak menutup kemungkinan di masa yang akan datang tikus memiliki peran penting dalam kehidupan manusia. Hewan ini setidaknya semakin memacu umat manusia untuk menghasilkan temuan baru dalam penelitian melalui media tikus sehingga hewan ini tidak lagi dianggap sepenuhnya sebagai hewan parasit. Setidaknya kita belajar satu hal penting bahwa setiap mahluk hidup dimuka bumi ini memiliki peran masing-masing, sekecil apapun itu, tidak terkecuali tikus.


Minggu, 14 April 2013

Pertaruhan Masa Depan Generasi Muda Selama 5 Jam


Menjelang pemilu 2014 berbagai tokoh baru dari partai baru seperti berlomba memasang jargon perubahan baru yang diusung oleh kaum muda. Pesan utamanya adalah “sudah saatnya generasi mudah berkiprah dalam dunia politik untuk melakukan perubahan”. Sikap heroik yang ditunjukkan salah satu mantan anggota partai ND sangat menarik perhatian saya. Idealisme yang ditunjukkan dengan mengundurkan diri dari partai tersebut karena perbedaan visi dengan pendiri partai ND menurut saya cukup inspiratif. Perbedaan mendasar yang melatarbelakangi pengunduran diri tersebut karena adanya perbedaan sudut pandang dalam melihat sejauh apa peran kaum muda dalam kepengurusan partai yang ternyata untuk posisi strategis masih diduduki oleh “orang lama”.
Meningkatkan peran generasi muda? Saya sudah mulai bosan dengan slogan seperti ini, faktanya jargon seperti itu tidak ditindaklanjuti dengan adanya terobosan baru dalam merubah cara pandang anak Indonesia tentang hakikat mereka sebagai kaum muda yang memikul tanggung jawab untuk memajukan bangsa. Ketika bangsa Indonesia masih memperjuangkan kemerdekaan, peran kaum muda begitu besar, di usia yang masih belia anak muda pada zaman tersebut sudah melakukan perubahan besar dan melahirkan pemikiran luar biasa bagi kemajuan bangsa Indonesia. 

Ilustrasi : desain pribadi

Akan tetapi saya merasa ada perbedaan yang cukup mencolok dengan kondisi anak muda sekarang. Saya heran pada saat jam 08.00 pagi hingga pukul 11.00 siang acara TV yang menyajikan acara hura-hura tidak jelas reality show kah, atau acara musik, gosip semua dalam satu paket acara dan yang menjadi “tim heboh” adalah anak muda yang bergerak kesana kemari, meneriakkan nama idola mereka, tertawa lepas, seakan tidak ada beban. Saya masih ingat ketika duduk dibangku sekolah dasar, tepat jam 08.00 pagi di stasiun TVRI ada acara mengungkap tabir pengetahuan, acaranya membahas mengenai sains, ilmu alam dan teknologi. Tetapi sepertinya acara seperti itu tidak memiliki rating yang tinggi jika TV swasta menanyangkannya, toh acara infotainment, music, reality show yang minim informasi justru yang mendapat penghargaan PA.
Nah, HT sebagai pimpinan grup manajer dan investasi ternama di Indonesia yang menggaungkan agar generasi muda mampu berbuat dan berkiprah untuk kemajuan bangsa apakah HT mengetahui seperti apa sajian acara yang disiarkan oleh TV swasta yang dikelolanya?. 
Teknologi informasi seperti media elektronik seharusnya merancang acara yang benar-benar mengeksplor potensi anak muda dalam bidang keilmuan. Tujuannya adalah agar generasi muda kita terdidik dengan tontonan yang memberi nilai tambah bagi perkembangan dan pembentukan jati diri serta menjadi ruang untuk meningkatkan kreativitas. Bukan tontonan yang membuat generasi muda semakin malas, lebih banyak bersantai di jam-jam dimana seharusnya seseorang meningkatkan produktivitas diri. Industri hiburan sepertinya masih enggan melakukan perubahan dan perombakan dalam menentukan pilihan acara TV yang bermanfaat bagi masyarakat khususnya generasi muda. 
Jika target HT adalah meningkatkan produktivitas kaum muda bangsa Indonesia, sudah saatnya HT melihat fenomena anak-anak muda di jam kritis (08.00 pagi) di stasiun TV yang dikelola oleh perusahaannya. Tidak perlu melempar jaring terlalu jauh untuk mendapatkan tangkapan ikan yang banyak, disekeliling dan disekitar kita ternyata banyak ikan yang bisa ditangkap. Semoga HT menemukan kejanggalan tersebut dan kembali menunjukkan idealisme terhadap hal-hal yang tidak sesuai dengan hati nurani. 

Kamis, 11 April 2013

Pesan hati melalui air mata

Jatuh berurai...butiran itu
Tangiskah?
Hati yang luruh, tersesat, membisu,..
seperti pohon yang merangas, hawa mengganas..
tak pernah tahu, tak saling mengenal..
atau memang itu bukan tangisan?
kau kembali kebingungan...
itulah Hati..selalu kebingungan...
terkadang pesan hati tak pernah tersampaikan
jauh tersesat, tertelungkup
tak tergapai pikiran
dan kembali air mata meyampaikan pesannya
jatuh berurai...sekali lagi...


















Ilustrasi:istockphoto.com

Jangan Malas untuk Jujur (Sorot Plagiat)


Mengutip kata-kata yang telah dipublikasikan seseorang dalam penelitian terdahulu atau yang dikenal dengan istilah plagiat ternyata masih banyak kita jumpai dalam dunia pendidikan. Skripsi, thesis dan disertasi yang menjadi sebuah tolak ukur dalam pengembangan sebuah ilmu pengetahuan yang diapresiasi dalam bentuk penelitian mulai kehilangan nilai-nilai yang menjunjung tinggi sebuah hasil penelitian yang bersifat orisinil, terbaru dan bermanfaat. Permasalahannya sepele karena mereka yang mengaku sebagai “peneliti” malas untuk jujur. Jujur yang dimaksud adalah kerendahan hati untuk mengakui sebuah karya sebelumnya atau karya terdahulu dengan melampirkan sumber kutipan kemudian melakukan penyusunan kembali kalimat yang dikutip sesuai kalimat peneliti sendiri tanpa mengurangi makna dan maksud kutipan peneliti terdahulu.
Kita bisa menyimak contoh berikut:

“Setelah masa kemerdekaan Indonesia, pemerintah Indonesia mengadakan peraturan penataan ruang sebagai keberlanjutan dari ketentuan peraturan yang berlaku (SVO dan SVV) dengan mengeluarkan berbagai produk peraturan yang bersifat parsial tata ruang ke dalam Peraturan Dalam Negeri dan Keputusan Presiden”.

Kemudian ditulis kembali tanpa mengurangi makna dari gagasan atau pendapat sebelumnya:

SVO adalah Ordonasi Pembentukan Kota Stadsvorming Ordonanti SVO (Staatsblad 1948 no.168) merupakan peraturan perundang-undangan yang digunakan oleh pemerintah Belanda, kemudian oleh pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan penataan ruang yang dituangkan dalam uu penataan ruang karena SVO hanya berlaku dan sesuai pada kondisi kota pada saat itu, Nama,Tahun : Hal.

Berbagai kemudahan sistem informasi saat ini telah disalahgunakan dengan semakin mudahnya para pengakses untuk memperoleh berbagai informasi mengenai hasil penelitian, jurnal dan sumber informasi lainnya. Dampaknya adalah rendahnya keinginan untuk mencari sumber melalui buku dan berfikir lebih ktitis. Peneliti dituntut untuk menghindari plagiat agar penelitian tersebut dapat menjamin akurasi, keaslian dan mengandung pembaharuan yang memberi manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, masyarakat dan generasi muda yang berkecimpung pada bidang terkait.  Semakin tingginya angka plagiasi hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas penelitian yang dihasilkan masih rendah. 

Upaya pengembangan ilmu pengetahuan membutuhkan hasil penelitian yang berkualitas dan memiliki unsur pembaruan di dalamnya. Sangat disayangkan apabila penelitian yang dilakukan tidak memiliki manfaat sama  sekali. Hal ini semakin diperburuk dengan banyaknya pamflet yang tersebar di beberapa dinding bangunan publik, tiang listrik yang menawarkan jasa penyelesaian skripsi bahkan tesis. Bagaimana bisa sebuah penelitian dapat diperjualbelikan seperti menjual barang dipasar loak?. Bagaimana bangsa ini mampu menciptakan peneliti handal dan profesional jika hasil penelitian mahasiswa dikerjakan oleh “biro jasa” seperti itu. Penekananya ada pada mahasiswa dan peneliti itu sendiri, selama penelitian masih menjadi sebuah karya “masterpiece” sang peneliti maka kita telah turut berpartisipasi meningkatkan kualitas penelitian di Indonesia. Hindari plagiat dan biro jasa skripsi serta tesis.


Dilema Lapak PKL dan Rumah Sakit ("Dua Sardjito")


Hiruk pikuk mulai meramaikan kawasan kompleks Rumah Sakit Umum Sardjito tepat pukul 05.00 pagi. Setiap hari koridor jalan Sardjito diramaikan oleh aktivitas pedagang kaki lima yang berjualan tepat di depan Rumah Sakit Umum Sardjito Kompleks Kampus Universitas Gadjah Mada. Aktivitas berdagang ini berlangsung setiap hari, keberadaan PKL Sardjito sangat memudahkan pengunjung rumah sakit untuk mencari warung makan, atau menjadi tempat bersantai setelah menjenguk pasien.

Jenis dagangan yang dijual pun beragam, terdiri dari makanan dan minuman ringan yang cukup variatif. Cukup menarik, karena lokasi PKL Sardjito ini terletak persis di depan RSU Sardjito. Setiap hari aktivitas dan pergerakan kendaraan cukup tinggi di sekitar kompleks Rumah Sakit Sardjito, kondisi ini semakin diramaikan dengan keberadaan PKL sehingga pada jam tertentu terjadi penumpukan kendaraan di sepanjang koridor jalan Sardjito. Penumpukan Kendaraan sekitar Rumah Sakit Sardjito tentu sangat mempengaruhi kinerja pelayanan pihak rumah sakit ataupun pihak keluarga pasien yang harus segera membutuhkan pertolongan.

Pihak UGM sendiri telah melakukan berbagai penertiban lapak PKL melalui kebijakan relokasi PKL ke kawasan lain. Relokasi PKL diharapkan mampu mengurangi penumpukan kendaraan yang terjadi setiap hari di kawasan Sardjito. Hal penting yang menjadi permasalahan keberadaan PKL adalah ketika terjadi penumpukan kendaraan maka kualitas udara semakin kotor dan tercemar. Permasalahan berikutnya adalah masalah kebersihan, keberadaan PKL menambah jumlah timbulan sampah, selain itu limbah cair hasil pencucian yang digunakan untuk mencuci peralatan makan tidak memiliki saluran pembuangan untuk mengalirkan limbah tersebut.

Masalah lain yang cukup pelik adalah masalah sosial yang ditimbulkan jika relokasi PKL benar-benar diberlakukan oleh pihak UGM. Sebagian besar pedagang yang berjualan tidak memiliki mata pencaharian lain selain berdagang. Kekhawatiran pedagang kaki lima jika dipindahkan ke tempat lain cukup beralasan. Pedagang khawatir tempat baru yang disediakan oleh pihak pemerintah dan kerjasama dengan UGM justru mematikan usaha berdagang yang telah dirintis sejak lama. Keberadaan PKL Sardjito yang menggunakan trotoar di sepanjang jalan Sardjito memang cukup strategis untuk “mencegat” pengendara motor ataupun pengunjung pasien sardjito.

Kompleksitas permasalahan yang menghambat terlaksananya kebijakan pihak UGM untuk merelokasi pedagang kaki lima belum mampu diselesaikan selama bertahun-tahun. Berdasarkan hasil wawancara dengan wakil ketua paguyuban PKL Sardjito, sampai saat ini pihak UGM belum membuka jalan untuk berdialog dengan pihak PKL Sardjito guna menemukan jalan keluar bagi kemaslahatan semua pihak tanpa ada pihak yang dirugikan melalui kebijakan tersebut.

Solusi tunggal tidak dapat digunakan dalam menyelesaikan masalah keberadaan PKL Sardjito dengan pihak UGM. Memerlukan pendekatan masyarakat dan gaya komunikasi “blusukan” seperti yang pernah dilakukan oleh mantan Walikota Solo, Jokowi. Melalui komunikasi “blusukan” menyapa langsung pedagang dan berbaur bersama, ternyata cukup efektif untuk membangun rasa kepercayaan antara pedagang dan pemerintah dalam mensukseskan kebijakan Jokowi untuk merelokasi PKL di kota Solo.

Selama ini situasi komunikasi yang terbagun adalah suatu kondisi yang menganggap keberadaan PKL sebagai “klien” yang tidak tahu apa-apa, sedangkan pihak UGM dan pemerintah sebagai pihak “professional” yang paling tahu solusi atas permasalahan yang terjadi. Situasi komunikasi yang terbangun seperti ini akhirnya melahirkan kebijakan satu arah tanpa melibatkan partisipasi dari kalangan PKL Sardjito. Pemertintah dan pihak UGM bisa saja tidak memidahkan lokasi pedagang PKL, melalui pemerintah, alternatif yang ditawarkan berupa penataan lapak PKL dengan menyediakan gerobak khusus, menyediakan lahan parkir dengan memaksimalkan luas lahan yang tersedia. Sedangkan dari pihak UGM sendiri, mahasiswa kedokteran melakukan kerjasama dengan pedagang untuk sosialisasi peningkatan mutu jajanan melalui pemberdayaan PKL untuk menyediakan makanan sehat dan mengutamakan kebersihan. 

Sekali lagi tidak ada solusi tunggal untuk menyelesaikan masalah pedagang kaki lima dan pihak UGM, memerlukan pendekatan kemasyarakatan, dengan tidak lagi menganggap bahwa keberadaan PKL sebagai sumber masalah sehingga harus “disingkirkan”, melainkan memandang keberadaan PKL sebagai bagian dalam sistem kehidupan sosial, saling terkait satu sama lain serta memiliki tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan hidup sama dengan profesi lain yang juga menjalankan fungsinya untuk menunaikan tanggung jawab sosial untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.


Rabu, 10 April 2013

Tersesat Angan

Manusia sendiri bahkan tidak pernah benar-benar tahu
apa yang diinginkan dalam hidunya
Manusia seperti berlomba dengan waktu
padahal sebenarnya manusia masih berdiam
di tempat dan waktu yang sama
semuanya terlihat begitu nyata,
padahal hanya ilusi belaka...
           Angan menghempaskan rasionalitas ke tempat terendah
           begitu sulit menggapai puncak, jatuh, tertunduk
           dan kembali terluka
           oh..angan...
           seakan kematian ini siap menghujam setiap detik
           tapi masih enggan karena tunduk pada wajah yang memelas
           ia (kematian) kemudian hanya menjadi penonton manusia
           yang tersiksa oleh angan, mati pelan-pelan karena angan...
                                                                                                   

Bersahabat dengan Bencana


Bencana Tsunami yang melanda provinsi Nangroe Aceh Darussalam pada tahun 2004 telah memporak-porandakan seluruh wilayah hingga ke pelosok, kota Banda Aceh rata dengan bangunan yang hancur lebur tersapu gelombang tsunami, ribuan korban jiwa menjadi pemandangan kelam dan memilukan pada saat itu. Kemudian pada tahun 2006 gempa bumi terjadi di profinsi D.I Yogyakarta juga menelan korban jiwa, hingga di awal tahun 2009 bencana gempa bumi juga meluluhlantahkan tanah Padang, sekali lagi menelan juga korban jiwa dan kerugian materi yang jumlahnya tidak sedikit.
Selama 10 tahun terakhir telah terjadi tiga bencana alam luar biasa yang terjadi di Indonesia, termasuk bencana lain seperti tanah longsor dan banjir bandang yang juga terjadi sepanjang tahun. Sangat disayangkan jika bencana yang terjadi dalam selang waktu hampir 10 tahun ini tidak memberikan pelajaran bagi seluruh komponen masyarakat agar tanggap dalam menghadapi bencana alam yang bisa terjadi kapan saja.
Kesigapan menghadapi bencana alam dimasa akan datang sudah seharusnya menjadi agenda seluruh lapisan masyarakat terutama yang bermukim pada daerah rentan terjadinya gempa bumi yang dapat memicu Tsunami, terutama masyarakat pesisir pada pantai bagian selatan Sumatra, dan Jawa. Merubah pola pikir masyarakat dalam memandang bencana alam adalah upaya yang terus dibangun oleh pemerintah agar program mitigasi bencana yang dijalankan pemerintah dapat berjalan maksimal.
Masyarakat perlu dibekali pengetahuan secara detail mengenai sejarah bencana alam yang terdapat di wilayah rentan bencana alam agar masyarakat setempat mampu bertindak cepat dan tanggap ketika terjadi bencana alam. Upaya ini dilakukan untuk meminimalisir jumlah korban jiwa akibat bencana alam. Pemerintah juga berperan penting dalam menggiring proses perubahan pola pikir masyarakat melalui penyediaan sumber informasi yang cukup informatif dan mudah diakses oleh masyarakat. Menyediakan bangunan publik seperti posko siaga bencana, aman dan jauh dari zona berbahaya yang dapat digunakan oleh masyarakat ketika terjadi bencana. Tujuan pendirian bangunan tersebut agar masyarakat sudah mengetahui kemana dan harus berbuat apa ketika terjadi bencana, sehingga masyarakat tidak kebingungan dan panik menghadapi bencana.
Membangun mental masyarakat melalui penanaman nilai-nilai kedisiplinan perlu diwujudkan sekalipun dalam situasi genting ketika terjadi bencana. Rasanya sudah cukup negeri ini belajar dari berbagai bencana, jika bencana dalam negeri saja masih belum mampu menumbuhkan semangat untuk mulai bersahabat dengan bencana, negara Jepang diharapkan bisa menjadi pembelajaran terkahir bangsa ini dalam menanggulangi bencana. Publik memuji kedisiplinan masyarakat Jepang yang begitu tenang dan tetap disiplin pasca bencana gelombang Tsunami. Kesigapan pemerintah Jepang pasca bencana juga menjadi pelajaran penting bagi bangsa ini. Melalui opini ini diharapkan agar kita tidak pernah lupa dengan sejarah bencana alam yang melanda negara ini, agar generasi berikutnya tahu bahwa tempat sehari-hari mereka bermain berkumpul merupakan tempat yang menjadi saksi sejarah betapa bencana mahadahsyat pernah terjadi di wilayah tersebut.

Go Green Not For Sale!


Pemanasan global selain menjadi isu utama permasalahan lingkungan juga telah memicu maraknya sindrom latah “Go Green”. Kegiatan “go green” menjelma menjadi gaya hidup baru masyarakat saat ini. Gerakan go green juga meramaikan berbagai even publik dan ajang perlombaan dengan menggunakan tema go green sebagai pemanis yang mengundang simpati warga atau sponsor untuk berpartisipasi dalam even tersebut.
Kata “green” dalam gerakan “go green” bermakna aksi ramah lingkungan, melakukan berbagai kegiatan melalui pertimbangan masalah lingkungan, dengan mengedepankan prinsip : mengurangi, dan menggunakan kembali. Sedangkan “go” dalam gerakan “go green” dapat diartikan sebagai kegiatan menyegerakan. Jadi “go green” adalah menyegerakan untuk bertindak dalam aksi ramah lingkungan. Hanya saja gerakan “go green” beberapa diantaranya telah menyimpang dari esensi dan tujuan utama gerakan tersebut. 

Gambar: Tema Go green

Kalau boleh dikatakan go green saat ini menjadi “lip service” setiap even perayaan ulang tahun kab.kota, lembaga, instansi pemerintah, dan kegiatan olah raga. Konsep dan tujuan “go green” sendiri tidak memiliki cacat sama sekali, karena tujuan “go green” sebenarnya adalah untuk menanamkan pola berfikir berkelanjutan dalam melihat dan memanfaatkan sumber daya alam secara bijaksana, cerdas dalam menggunakan produk serta menciptakan kepekaan terhadap permasalahan lingkungan.
Menjadi permasalahan ketika even yang dilaksanakan dengan mengusung tema “go green” ternyata tidak sejalan bahkan bertolak belakang dengan tujuan dasar gerakan “go green”. Pada perayaan ulang tahun salah satu ibu kota provinsi,  rangkaian acaranya adalah melakukan gerak jalan santai dengan memasukkan tema gerakan go green pada even tersebut, dalam kegiatan tersebut hadiah utama yang diperoleh adalah beberapa unit sepeda motor. Pihak penyelenggara mungkin lupa atau pura-pura tidak tahu bahwa kegiatan gerak jalan santai dan bersepeda dilaksanakan agar sesuai dengan tema “go green” tetapi hadiah sepeda motor yang diberikan justru mencederai kegiatan “go green” tersebut.
Menggelikan, karena beberapa negara telah melakukan aksi nyata untuk “go green” sedangkan di Indonesia sebagian masyarakat masih memandang “go green” sebagai  ajang formalitas, dan ceremonial belaka. Cara pandang dalam memaknai gerakan “go green” diperlukan agar kita tidak salah alamat dalam menempatkan tema, kegiatan dan tujuan setiap even yang dilaksanakan. Karena “Go Green Not For Sale”.



Popular