Rekomendasi Hari Ini

Kamis, 30 Mei 2013

“KUE” Urbanisasi bukan hanya untuk Pemkot DKI


sumber gambar: http://1.bp.blogspot.com/

Perkembangan dan kemajuan kota menyebabkan tingginya laju urbanisasi secara besar-besaran dalam jangka waktu relatif singkat. Urbanisasi akhirnya menjadi masalah apabila kemampuan sumberdaya perkotaan terutama dalam bidang ketenagakerjaan sudah tidak sebanding dengan laju urbanisasi. Dampak negatifnya adalah daya tamping dan daya dukung lingkungan semakin menurun akibat pertumbuhan penduduk dan laju urbanisasi yang semakin tidak terbendung.

Kota besar seperti Jakarta merupakan kota dengan laju urbanisasi tertinggi, sedangkan daya dukung lingkungan kota Jakarta sendiri mengalami penurunan secara signifikan. Penurunan daya dukung lingkungan disebabkan karena terjadinya kesenjangan antara sumber daya yang tersedia sudah tidak sebanding dengan permintaan yang ada. Jakarta akhirnya harus menampung beban perkotaan yang semakin bertambah setiap hari.

Menekan laju urbanisasi telah dilakukan oleh pemerintah Jakarta dengan memulangkan warga pendatang yang tidak memiliki bekal keterampilan dan jaminan perolehan kerja di Jakarta, hanya saja kebijakan ini dinilai kurang efektif, karena disatu sisi kebijakan ini dianggap terlalu radikal dan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan.

Menengok negara Brasil, salah satu kota yang dinilai berhasil menyelesaikan seluruh permasalahan kota yakni kota Curitiba, pemerintah Curitiba mengalami kepadatan populasi dalam kota meningkat tiga kali lipat sejak tahun 1960 – 2008. Kenaikan laju populasi penduduk hingga tiga kali lipat diikuti dengan kebijakan menyediakan ruang hijau dari 1 km² menjadi 50 km² per penduduk. Strategi pertumbuhan penduduk yang mampu menyiasati kepadatan penduduk sekaligus melindungi ruang hijau menjadi solusi untuk mengatasi masalah urbanisasi di Kota Curitiba. Beberapa kebijakan khususnya dalam kota Jakarta yang bisa diterapkan untuk mengatasi masalah urbanisasi di Kota Jakarta adalah:
1.    Deportasi regional
Kebijakan ini metodenya mirip dengan kegiatan deportasi antar negara, bedanya istilah ini diterapkan untuk skala regional. Warga pendatang (non wisatawan) yang tidak memiliki rumah/tempat tinggal serta pekerjaan di Jakarta wajib dipulangkan ke daerah asal.
2.    Pembatasan Jumlah keluarga
Warga pendatang yang bekerja di Jakarta tidak diperkenankan membawa serta anggota keluarga lain untuk tinggal di Jakarta tanpa tujuan dan kepentingan yang jelas.
3.    Batas Waktu
Warga pendatang di Jakarta khususnya warga yang bekerja di Jakarta memiliki batas waktu menetap sekitar 5-7 tahun.
4.    Pajak Tinggal
Pajak ini juga berlaku untuk warga pendatang yang bekerja, selama tinggal di Jakarta wajib mengeluarkan biaya berupa pajak sebagai kompensasi atas lahan yang diperoleh selama jangka waktu yang telah ditentukan.
Untuk mengurangi laju pertumbuhan pencari kerja di Jakarta maka langkah yang harus ditempuh adalah:
1.    Kerjasama wilayah :
Pemerintah Jakarta tidak sendiri dalam menyelesaikan permasalahan urbanisasi, pemerintah di luar wilayah administratif Kota Jakarta ikut bertanggung jawab dan memikirkan bersama masalah urbanisasi tersebut.
2.    Home Industri
Pemerintah bersama pihak swasta mengembangkan kegiatan home industri, istilah bagi pekerja HI adalah pekerja tidak langsung. Pekerja bisa menyelesaikan produksi di rumah masing-masing untuk mengurangi pergerakan ke lokasi pabrik.
3.    Non Privatisasi
Membatasi kepemilikikan lahan dalam jumlah besar pada kawasan strategis di pusat kota, untuk menghindari perubahan fungsi lahan yang menyebabkan tingginya “bangkitan dan tarikan transportasi” akibat perubahan fungsi lahan dari lahan privatisasi.

Beberapa kebijakan yang telah disebutkan tentu membutuhkan banyak penyesuaian dan akan bersinggungan dengan kebijakan dan kepentingan publik. Terlepas dari kompleksitas keseluruhan masalah urbanisasi, satu hal yang perlu ditekankan adalah urbanisasi tidak hanya berkutan pada persoalah penduduk saja, melainkan andil pemerintah dalam hal pengambilan keputusan dan kebijakan daerah terkait kebijakan perekonomian dan arah pembangunan daerah akan berpengaruh terhadap urbanisasi.


Pola pikir tentang kota Jakarta perlu dikritisi kembali, Jakarta bukan tempat mengadu nasib, jika Jakarta sudah siap untuk menjadi ibukota negara, maka kedepannya Jakarta hanya akan menjadi ibukota negara dengan fungsi-fungsi pelayanan pendukung. Pembangunan dan pemerataan perekonomian mutlak dilakukan di daerah bukan sebaliknya malah menjadikan Jakarta sebagai pusat seluruh kegiatan seperti bisnis, perdagangan dan jasa.

Nilai “Mahal” Sebagai Alat Tawar Sosial


sumber gambar: http://hdwallpapersdesktop.com/

Semakin mahal barang yang Anda kenakan, semakin menunjukkan status soial Anda di mata masyarakat. Sekilas yang terlihat bahwa Anda tentunya merupakan kaum jetset karena memiliki kemampuan untuk memiliki barang-barang mewah tersebut. Dengan adanya“pelabelan” seperti itu maka secara sadar opini masyarakat akan tergiring mengarah pada satu kesimpulan bahwa mahal itu identitas.

Yup, perbincangan di pagi hari dengan teman  saya secara kebetulan membahas mengenai arloji mahal. Saya berpendapat bahwa sangat disayangkan jika arloji mahal digunakan tidak dibarengi dengan karakter diri yang menunjukkan kita memang menghargai waktu. Karena arloji tidak hanya sekadar jam yang melingkari pergelangan tangan, melainkan sebuah asesoris penting di bagian tubuh yang menunjukkan bahwa pemakainya adalah orang yang sangat “menghamba waktu”/tidak bermain-main dengan waktu.

Hal yang menarik bahwa barang mewah semisal arloji ataupun barang mewah lainnya tidak lagi digunakan berdasarkan fungsi melainkan nilai status sosial. Pembeli barang mewah dan gadget mungkin saja tidak terlalu mementingkan seperti apa ketergantungan aktivitas mereka terhadap barang mewah dan mahal, karena yang terbeli pertama kali adalah nilai, yang memang mereka gunakan dalam lingkungan sosial mereka.

Lingkungan akan mempengaruhi dalam proses pengambilan keputusan termasuk untuk mengikuti tren dan gaya hidup yang berlaku di tempat tersebut. Karena jika manusia mengutamakan fungsi, maka barang tersebut tentu dengan mudah didapatkan di toko-toko biasa saja, tetapi karena ada nilai di balik deretan nilai mata uang maka membeli barang mewah merupakan suatu kepuasan tersendiri.

Pergeseran sudut pandang terhadap pembelian suatu barang akan berimplikasi pada penetapan standarisasi hidup, bahwa yang diterima adalah yang mahal, bahwa fungsi hanya menjadi nilai sekunder. Jika demikian dimana letak rasionalitas pembeli?. Bisa saja kita tergiring pada sikap pesimistis, bahwa apresiasi, penerimaan, dan penghargaan hanya untuk produk-produk mahal, masyarakat pada akhirnya tidak punya alternatif untuk memilih.

Masyarakat yang tergolong memiliki kemampuan finansial lebih, mungkin tidak akan bermasalah dengan pembelian produk mahal, disamping karena lingkungan sosial dan mobilitas kerja yang tinggi cenderung menuntut diperlukannya barang-barang mewah tersebut. Masyarakat biasa yang memiliki barang mewah tentu memiliki alat tawar sosialnya sendiri, bisa berupa pembuktian akan kehidupan perekonomian yang semakin membaik atau ukuran capaian keberhasilan.

Dapat dikatakan bahwa bagi masyarakat menengah ke atas, barang mewah dan mahal bukan menjadi prasyarat utama sebagai alat tawar sosial, karena mereka sudah termasuk dalam lingkaran sosial itu sendiri. Sedangkan bagi kalangan menengah, barang mewah merupakan salah satu alat tawar sosial memasuki pergaulan yang lebih luas atau juga sebagai isyarat untuk menunjukkan bahwa secara finansial kalangan menengah tinggal lepas landas memasuki kemapaman ekonomi, dimana mereka akan menemukan tempat untuk memperluas jaringan sosial baru.


Senin, 27 Mei 2013

Kota sudah tidak ramah



Kota semakin dipuja, dan manusia mulai menghamba dengan kenyamanan yang ada di kota mereka, tapi hal tersebut tidak berlaku bagi warga kota yang tidak memiliki tempat tinggal. Mereka hanya menggantungkan harapan pada sepetak ruang ukuran 2x1 m untuk melepas waktu di malam hari, tanpa pernah tahu apa yang terjadi esok hari sebelum matahari terbit. Sementara sebagian manusia lain masih terlelap di kamar tidur maha luas nan mewah, dan taman besar di halaman rumah, semuanya kosong melompong. Itulah gambaran kota yang sudah tidak ramah dengan manusia.

Kota sudah seharusnya menjadi tempat yang nyaman dan layak untuk dihuni oleh warga kota. apa yang terjadi dengan kota-kota di Indonesia jika pada malam hari beberapa ruas jalannya masih ada orang yang tidur di emperan toko?, sementara sebagian dari kita berkoar-koar dibalik selimut halus menganggap bahwa mereka adalah warga yang terbuang, harus disingkirkan.

Perencana kota bisa turut andil dalam menyelamatkan para tunawisma ini, sudah saatnya perencana kota dan arsitek kota memikirkan bagaimana kota bisa menjadi ruang kehidupan semua lapisan masyarakat. Kota tidak lagi direncanakan hanya untuk membangun pusat perbelanjaan nan mewah namun miskin perikemanusiaan, miskin lingkungan, malah kaya limbah. Blok perumahan dan apartemen mewah di kawasan perkampungan kumuh sudah cukup menyisakan kesenjangan sosial yang bisa memicu konflik sosial.

JAKARTA bukan Singapura, bukan DUBAI, bahwa yang menghuni kota hanya manusia yang memiliki keseragaman strata sosial sebagai warga kelas atas, JAKARTA lahir dari keberagaman, selamatkan keberagaman mereka. Perencanaan kota terlihat hanya memihak pada pemiliki modal, tidak peduli lahan tersebut merupakan kawasan konservasi dan resapan air, selama masih bisa membangun maka pembangunan akan dilaksanakan. Desain kota memberangus lahan publik tempat dimana seharusnya warga kota bisa berkumpul, yang terbangun hanyalah labirin superblok, tanpa mereka sadari labirin superblok itu telah menyesatkan pergerakan mereka di dalam kota.

Solusi mutlak tidak akan pernah ada, karena merencanakan kota akan bersinggungan dengan keahlian berbagai bidang, yang dibutuhkan adalah kerjasama seluruh bidang keahlian untuk duduk bersama memikirkan jalan keluar paling manusiawi. Perencanaan untuk melindungi hak-hak warga kota tanpa terkecuali perlu dipikirkan bersama, terutama tunawisma yang mendiami kota.

Pemerintah bisa saja menerapkan aturan bagi pemilik bangunan ruko dan pertokoan untuk membuat desain ramah tunawisma di halaman toko, ramah yang dimaksud adalah ruang tersebut didesain untuk memungkinkan tunawisma bisa tidur dan beristirahat dengan layak. Ingat kita semua manusia sama dengan mereka, tidak sepatutnya memperlakukan mereka seperti manusia terlantar. Dan untuk kota-kota lain, jangan menunggu sampai kota Anda menjadi tidak ramah seperti Jakarta, belajarlah dari Jakarta.


Inspirasi tanpa BATAS (Road Show IDKita Kompasiana Yogyakarta)

Road swow IDKita Kompasiana di Yogyakarta yang mengusung tema internet sehat sangat inspiratif dan bermanfaat, walaupun tidak mengikuti keseluruhan rangkaian roadshow tersebut setidaknya roadswhow terkahir yang berlangsung di Fakultas Psikologi UGM mampu membuka ruang pengetahuan dan inspirasi bagi saya dan peserta lainnya.  Acara road show tersebut menghadirkan beberapa narasumber yang pakar dibidang teknologi dan informasi bapak Kalamullah Ramli, dosen psikologi UGM ibu NeilaRamdhani  dan ibu Christie Damayanti.
Road show IDKita Kompasiana merupakan road show yang memperkenalkan bagaimana memanfaatkan internet secara bijaksana agar memberi nilai tambah bagi kehidupan sehari-hari. Narasumber inspiratif ibu Christie Damayanti memaparkan bahwa dengan memanfaatkan internet secara bijaksana beliau mendapat manfaat luar biasa. Melalui internet ibu Christie bergabung dengan media warta sosial Kompasiana dan mulai aktif menulis. Menderita stroke tidak menghentikan semangat ibu Christie untuk terus menuangkan berbagai ide dalam bentuk tulisan, bahkan kegiatan ini dinilai sebagai sebuah bentuk terapi untuk memulihkan kondisi pasca stroke.
Pemaparan dengan menggunakan sudut pandang psikologi juga disampaikan oleh ibu Neila Ramdhani, beliau memaparkan bahwa kesiapan masyarakat terutama remaja menghadapi gejolak informasi mutlak menjadi tanggung jawab bersama terutama keluarga. Ibu Neila juga berharap bahwa kedepannya mahasiswa UGM yang akan melaksanakan KKN bisa bekerja sama dengan rekan IDKompasiana untuk menggalakkan internet sehat di daerah terpencil, kegiatan ini dinilai bisa membawa manfaat besar bagi warga setempat. Bahwa masyarakat juga sudah saatnya terlibat mengawali dan mengawasi pemakaian internet oleh anak mereka, tanpa harus berkoar-koar menyerahkan sepenuhnya tugas mahaberat itu kepada pemerintah saja.

Kegiatan road show ini merupakan terobosan dan langkah luar biasa yang dilakukan oleh mereka yang begitu peduli serta resah melihat bahwa perkembangan teknologi informasi begitu pesat dan jika tidak mendapat pengawalan dan pengawasan bisa memberi dampak negatif baik secara sosial maupun individu. Harapannya adalah kegiatan ini kedepannya bisa dilanjutkan, tidak hanya dipulau Jawa, di pulau lain kegiatan ini juga bisa dilaksanakan. Berharap perubahan besar terjadi merupakan tugas bersama untuk memajukan bangsa, untuk wanita yang ganas menginspirasi generasi muda dan perempuan Indonesia Christie Damayanti, semangat yang tertuang dalam tulisanmu semoga menularkan semangat serupa untuk perempuan Indonesia agar tidak melemahkan keadaan dan keterbatasan, bahwa semua hal bisa kita capai dalam hidup ini.


Menulis, terapi kemarahan?

ilustrasihttp://astrianin.files.wordpress.com/

Mungkin tidak salah jika ada yang mengatakan bahwa menahan amarah bukan perkara yang mudah, pada akhirnya kita memang merasa lega setelah meluapkan kemarahan, akan tetapi dampak setelah meluapkan kemarahan atau kekesalan terkadang membuat diri merasa menyesal atas apa yang telah kita lakukan. Dampak positifnya adalah kita menyadari kelemahan diri dan mengakui bahwa pengendalian diri kita masih kurang. Kejadian yang terlihat begitu sepele dapat memicu kekesalan hingga menyebabkan kemarahan, hingga sengaja atau tidak kita mengeluarkan kata-kata yang tidak sepantasnya untuk diucapkan.

Berbagai literatur telah menyebutkan beberapa hal yang dapat dilakukan untuk meredam amarah, salah satunya adalah mengalihkan fokus perhatian atau meninggalkan tempat yang dapat memicu kemarahan. Beberapa kejadian yang saya alami terkadang membuat diri saya begitu emosi dan marah, saya memilih pergi dan berdiam diri untuk beberapa jam, setelah merasa lebih tenang saya kembali berkumpul bersama teman-teman. Namun kejadian semalam membuat saya tiba-tiba emosi begitu saja hingga menyebabkan munculnya perilaku spontanitas yang tidak pantas untuk dilakukan.

Menyadari hal  tersebut saya akhirnya mengakui bahwa reaksi berlebihan terkadang tidak sebanding dengan kejadian sebenarnya. Beberapa hal bisa memicu kemarahan salah satunya adalah kondisi psikologi sebelum kejadian bisa menjadi penyebab utama. Bisa karena masalah pekerjaan atau masalah lain yang menguras energi, akibatnya ketika menemui kejadian yang tidak sesuai dengan harapan, diri akan menumpahkan segala kekesalan. Dapat dikatakan bahwa marah sedikit mirip dengan curhat hanya saja beda rasa,beda intonasi dan beda gaya penyampaian.

Pelajaran penting yang saya rasakan adalah bagaimana mengembalikan kepercayaan diri setelah meluapkan kemarahan. Meluapkan kemarahan hingga menyebabkan munculnya perilaku kurang menyenangkan sehingga menyebabkan pelaku “kemarahan” merasa menyesal berlebihan bahkan melimpahkan semua kesalahan pada diri sendiri. Padahal marah bukan karakter, melainkan sebuah proses sebab akibat, oleh karena itu saya memilih untuk memulai pekerjaan baru yang saya senangi, pekerjaan yang menonjolkan potensi diri, agar tidak terus menerus menyalahkan diri sendiri, menulis bisa jadi alternatif, dengan menulis pikiran akan fokus dan mungkin saja tindakan ini termasuk “terapi” untuk mengembalikan stabilitas emosi dan kontrol diri.  

Dengan melakukan pekerjaan seperti itu kita bisa kembali menghargai diri, dan membuka pikiran positif untuk mulai merenungi kekurangan dalam diri sehingga kedepannya kita bisa mengontrol perilaku dengan bijaksana. Merenungi sebuah kesalahan pasca kejadian tidak membawa efek signifikan, justru hanya membuat diri merasa tertekan, tidak ada salahnya merenungi masalah ketika tubuh sudah kembali fit dan pikiran sudah jauh lebih tenang. Mari mencoba… 

Kamis, 02 Mei 2013

Jakarta Masih Membutuhkan Rencana Tata Ruang


            
Ilustrasi: www.istockphoto.com

      Kondisi kota Jakarta ditinjau dari aspek lingkungan dan sistem transportasi cukup memprihatinkan. Banjir tahunan menjadi langganan warga Ibukota Jakarta. Faktanya perencanaan puluhan tahun dalam menanggulangi banjir di Jakarta hingga sekarang belum terselesaikan. Selain masalah banjir, warga Jakarta juga harus berhadapan dengan kemacetan setiap harinya, kondisi ini semakin memicu stress warga kota.              

Kerugian materi dan pemborosan BBM juga terjadi setiap hari akibat kemacetan. Menurut hitungan Bank Dunia, kerugian ekonomi oleh kegagalan transportasi menemukan bahwa untuk Tahun 1990 saja, kerugian Jakarta mencapai 200 juta dollar AS. Selanjutnya di Tahun 2007 masih oleh Bank Dunia, kerugian warga Jakarta karena penyakit akibat pencemaran oleh parahnya kemacetan mencapai Rp 1,8 triliun.

         Kualitas udara semakin buruk akibat polusi kendaraan yang terbuang di udara, bahkan Jakarta masuk sebagai kota dengan tingkat polusi tertinggi ke 4 setelah Meksiko. Pakar dan tim ahli perkotaan, lingkungan serta transportasi telah mengemukakan berbagai solusi untuk mengatasi masalah multikompleks di Jakarta, melalui Rencana Tata Ruang Wilayah diharapkan mampu melakukan kontrol dan membenahi tata ruang perkotaan di Jakarta, ternyata hingga saat ini penerapan dan implementasi di lapangan jauh panggang dari api. Rencana tata ruang wilayah merupakan pedoman bagi pemerintah setempat dalam mengontrol pemanfaatan lahan khususnya peluang untuk memanfaatkan lahan strategis yang berfungsi sebagai daerah resapan dan ruang terbuka hijau.

        Menjamin ketersediaan lahan untuk RTH (Ruang terbuka hijau) berarti ikut menjamin ketersediaan kualitas air bersih, dan kualitas udara perkotaan. Faktanya beberapa situ di Jakarta justru bernasib buruk, situ Kali Sunter hanya menjadi tempat pembuangan sampah (tumpukan sampah). Pembangunan CBD, apartemen dan bangunan komersil lainnya semakin bertambah jumlahnya, lantas dimana fungsi kontrol Rencana Tata Ruang, jika selalu kompromistis dengan pihak inverstor?

Dana yang digelontorkan untuk menyiapkan penyusunan Rencana Tata Ruang terbilang cukup besar. Meninjau muatan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah dengan implementasi belum selaras. Penyimpangan fungsi ruang inilah yang membawa masalah di kemudian hari.

         Jakarta utara merupakan daerah dataran rendah dengan kondisi permukaan tanah labil, malah menjadi dikembangkan  untuk pembangunan mega proyek apartemen dan CBD (Central Business Distric). Lantas peran RTRW dalam permasalahan ini sepereti apa? Jika RTRW sudah tidak mampu mengontrol pemanfaatan ruang, solusi apa yang dapat ditempuh untuk mengatasi permasalahan tersebut. Jangan menunggu sampai Jakarta  tenggelam, sampai warga Jakarta terpapar penyakit akibat kualitas udara yang tercemar. Jangan menunggu itu. Komitmen pemerintah dalam menjalankan ketentuan UU Penataan Ruang dan implementasi Rencana Tata Ruang perlu dipertanyakan.

      Pembangunan mutlak dan perlu dilaksanakan, akan tetapi pembangunan perlu meninjau bebrbagai aspek seperti lingkungan, sosial dan ekonomi. Pembangunan memerlukan penyelarasan dengan ketiga aspek tersebut agar dimasa datang tidak berbenturan dengan berbagai kepentingan. Melihat bagaimana pemerintah Singapura membangun kotanya, dengan konsisten untuk menyediakan RTH dan ruang publik menjadikan kota Singapur sebagai salah satu kota ternyaman dan kota tujuan berbagai wisman. Kota Copenhagen menjadi kota pertama dalam menerapkan prinsip ekologi, Jakarata kapan?

(Ilustrasi)
Kelemahan bangsa ini bisa disebabkan karena seluruh kebijakan publik bersinggungan di ranah politik demi kepentingan beberapa pihak saja. Ganti pemimpin, ganti kebijakan, tidak heran jika kota atau wilayah seperti miniature politik belaka.

Rabu, 01 Mei 2013

Program Pengembangan Sekolah “Rempah Mandiri Karya” Sebuah Representasi Perwujudan Generasi Terdidik, Tanggap, Inovatif Untuk Anak Putus Sekolah dan Kurang Mampu


         


        Masalah kemiskinan telah menjadi permasalahan multidimensi bangsa Indonesia. Berbagai  program pengentasan kemiskinan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat belum berjalan maksimal. Imbasnya adalah anak-anak dari keluarga miskin tidak mendapatkan akses untuk memperoleh pendidikan disebabkan biaya untuk pendidikan sangat mahal dan orang tua tidak memiliki penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Lack of Access, kemiskinan seperti lingkaran setan yang tidak menemukan ujung pangkal penyelesaian permasalahan. Berdasarkan amanat undang-undang dasar dijelaskan bahwa anak-anak dan fakir miskin dipelihara oleh negara. Faktanya sampai hari ini masih banyak anak-anak usia sekolah yang berkeliaran di jalan menjadi pengamen, atau bekerja menjadi pemulung, lantas dimana peran negara yang ditugaskan untuk “memelihara” anak-anak jalanan?. Sebaliknya semakin hari angka putus sekolah cukup tinggi, berdasarkan data Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, setiap menit ada empat anak yang putus sekolah. Bahkan pada tahun 2010 usia sekolah yakni 7-15 tahun yang terancam putus sekolah sebanyak 1,3 juta. Data ini menunjukkan peningkatan angka anak putus sekolah yang sangat signifikan. 

          Program sekolah gratis yang dicanangkan pemerintah belum berjalan optimal. Pendidikan gratis dinilai belum efektif karena keluarga miskin masih harus mengeluarkan biaya pembelian buku dan seragam serta keperluan sekolah lainnya. pemerintah harus jeli melihat permasalahan tersebut dan mengeluarkan kebijakan rasional yang mampu diimplementasikan dilapangan. Hal penting yang perlu digaris bawahi adalah merekonstruksi pemaknaan “miskin” terlebih dahulu. Kata miskin selalu diikuti dengan kondisi memprihatinkan. Sekolah “non formal” ini setara dengan sekolah umum lainnya. Sekolah “Mandiri” memiliki kurikulum yang sama dengan sekolah umum, pemerintah memfasilitasi sekolah non formal yang sudah ada melalui penyediaan fasilitas memadai dan ketersediaan referensi belajar seperti buku pelajaran dan media lain. 
         Anak-anak tidak lagi memikirkan masalah keperluan sekolah seperti seragam, buku dan alat tulis karena semua peralatan alat tulis akan disediakan oleh siswa itu sendiri tanpa harus membeli peralatan baru. Sekolah non formal ini sekaligus mengajarkan anak-anak untuk kreatif dalam memanfaatkan barang-barang bekas yang dapat digunakan kembali untuk keperluan mereka. Kertas daur ulang sebagai bahan untuk alat tulis dapat digunakan oleh anak-anak ini. Tawaran ini diharapkan mampu mengatasi dan menyelesaikan permasalahan anak-anak yang tidak mampu melanjutkan sekolah. Sekolah mandiri kedepannya diharapkan mampu melahirkan generasi muda terdidik, tanggap dan inovatif bagi lingkungan dan masyarakat.  

Tak ada Elang hari ini



Ilustrasi: google.com
Elang..
Tak seperti biasanya..
Elang hari ini menikmati pohon yang rindang
Tak ingin terbang
Enggan melepas pandangan
dari sang hijau daun
Kukunya yang tajam tak berati
Apa-apa dihadapan sang hijau
Entah kapan Elang terbang kembali
Langit begitu feminine
Tak ada warna sayap elang
        yang menggentarkan
Lembut…biru…awan putih
Sekarang mereka merasa merdeka
Aku merindukan mu Elang..


Seribu Besi di Rumah Rempah


       Dalam perjalanan saya ke Solo beberapa hari yang lalu, saya mengunjungi salah satu tempat  yang menurut saya cukup unik dan memberi inspirasi. Tempat tersebut dinamakan rumah rempah, merupakan rumah dengan desain arsitektur alam. Rumah rempah merupakan sebuah representasi bangunan yang menggunakan material sisa dan limbah kemudian digunakan kembali dengan beberapa inovasi dan kreativitas agar menjadi barang berguna. 

Gambar 1: Atap bangunan dari bahan ijuk

           Rumah ini merupakan wadah bagi pelaku seni dan budaya di Solo. Komunitas ini berkomitmen untuk memanfaatkan barang dan limbah sebagai bahan daur ulang bernilai tinggi dan ramah lingkungan. Banyak kaleng bekas dan tumpukan potongan besi dibagian belakang rumah tersebut, menurut penuturan salah satu mahasiswa yang sedang tugas lapangan di tempat tersebut, kaleng bekas itu nantinya digunakan kembali untuk membuat ornamen sebagai kebutuhan interior ruang dalam seperti tangga rumah. Sedangkan untuk ruang luar kaleng bekas tersebut dijadikan ornamen untuk mempercantik pagar besi kemudian ditempelkan pada pagar jaring besi tersebut. 
Gambar 2: sisa besi digunakan untuk membuat tangga

          Selain memanfaatkan kaleng bekas untuk pembuatan ornamen interior, konsep green dalam penataan taman di halaman depan rumah rempah juga terlihat sangat menarik. Pada bagian atap taman, dibuat jaring-jaring besi berbentuk segi empat dengan ukuran 7 x 7 cm, disela jaring besi tersebut kemudian ditaruh pot bunga. Secara keseluruhan yang terlihat adalah atap dari taman tersebut merupakan jejeran pot bunga yang diatur dan ditata dalam jaring-jaring besi. Pagar kawat besi ini diantaranya dipasang pot-pot bunga. Desain bangunan rumah rempah didesain dengan menggunakan banyak jendela besar sehingga sumber pencahayaan utama dalam bangunan tersebut adalah pemanfaatan cahaya matahari. Lampu yang digunakan merupakan lampu LED yang dapat menekan pemanasan global karena efisiensinya.  


Gambar 3: tanaman dalam pot diletakkan di sela jaring besi

         Komunitas rumah rempah membuktikan bahwa limbah besi rongsokan dapat dimanfaatkan dan bernilai seni tinggi. Bangunan ramah lingkungan yang diimplementasikan ke dalam tata ruang dan sistem pencahayaan menggunakan energi matahari merupakan terobosan dalam mengurangi konsumsi energi listrik dan beralih ke energi alternatif. Jadi hijau tidak harus mahal, memanfaatkan barang bekas, limbah kertas, plastik dan kaleng yang susah terurai adalah langkah besar dalam menyelamatkan lingkungan. 

        Rumah rempah menginspirasi untuk merubah cara pandang kita dalam menyikapi permasalahan sampah dan keterbatasan energi. Terlalu banyak berfikir tanpa melakukan apapun jelas menguras “energi” juga, mungkin terobosan yang dilakukan oleh komunitas rumah rempah disebabkan karena “mereka” memiliki kemauan untuk mengawali sebuah langkah besar dengan harapan kita juga tergerak untuk menyelamatkan lingkungan, dalam bidang apapun dan sekecil apapun. Think less about green but do more right now. 

Gambar 4: bagian dalam rumah rempah

Gambar 5: bagian luar rumah rempah
(terlihat dinding rumah menggunakan sisa material kayu)

Gambar 6: tanaman gantung dan tanaman rambat

Popular