Rekomendasi Hari Ini

Selasa, 13 November 2012

Peran Serta Masyarakat dalam Pengembangan Wilayah Tertinggal


Pengembangan wilayah daerah tertinggal telah menjadi agenda utama dalam kegiatan pembangunan bangsa Indonesia sejak era orde lama hingga saat ini. Lambannya penyelesaian masalah dalam pengembangan wilayah daerah tertinggal disebabkan karena akar permasalahan daerah tertinggal seperti sebuah lingkaran setan yang tidak memiliki ujung pangkal penyelesaian. Implikasinya adalah hingga saat ini masih banyak kabupaten dan daerah tertinggal di Indonesia. Pengembangan wilayah tertinggal tidak dapat dipisahkan dari isu pemberdayaan masyarakat. Masyarakat merupakan bagian dalam satu wilayah, sehingga masyarakat menjadi bagian dari target pembangunan sekaligus promotor pembangunan di wilayahnya.
Selama ini rencana dan program pengembangan wilayah tertinggal masih menyelesaikan permasalahan fisik saja, padahal di dalam wilayah ada masyarakat yang menjadi terget pembangunan. Boleh dikatakan bahwa program pengembangan wilayah tertinggal menggunakan indikator keberhasilan pencapaian pembangunan fisik sebagai tolak ukur untuk menilai tingkat keberhasilan suatu daerah agar segera melepaskan diri dari status "tertinggal". Perumusan rangking masalah dilaksanakan dan berlaku secara nasional tanpa melihat karakteristik setiap daerah sehingga program yang dilaksanakan tidak banyak yang berhasil ketika diterapkan di daerah lain. Umumnya program yang dijalankan merupakan aturan pakem yang telah dibuat oleh pemerintah pusat, belum melibatkan aspirasi masyarakat seutuhnya dalam perumusan program, pembangunan dirumuskan tanpa melihat kebutuhan masyarakat terlebih dahulu.
sumber : http://www.kalimantan-news.com
Model pengembangan wilayah tertinggal selama ini bersifat top-down, padahal perkembangan wilayah dan perkembangan masyarakat saat ini sangat dinamis. Pemerintah sudah seharusnya melakukan gebrakan baru dalam merumuskan program pengembangan wilayah tertinggal dan meninggalkan pola sentralistik. Program seperti ini hanya menunjukkan bahwa daerah tertinggal diapandang sebagai wilayah dalam sebuah miniatur kecil, tidak bernyawa, tidak berpenghuni, akibatnya pembangunan yang dilkasanakan tidak menggring masyarakat menuju pada kehidupan yang lebih baik. Pembangunan fisik dapat dikatakan selesai tapi masyarakat dalam wilayah tersebut tidak hal ini diikuti dengan perkembangan perilaku masyarakat yang "membangun". Membangun yang dimaksud adalah membangun keberdayaan masyarakat untuk mampu mengelola sumber daya alam dan potensi alam yang ada pada wilayahnya secara swadaya, berkelanjutan, dan mandiri. Membangun keberdayaan masyarakat dapat dilakukan dengan melakukan pendekatan kemasyarakatan non struktural, mengenali watak dan perilaku warga setempat terlebih dahulu, menyelami kehidupan warga tersebut, aktivitasnya, bentuk sosialisasinya serta cara pandang masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Pengenalan dan pemahaman kehidupan sosial masyarakat inilah yang dijadikan pedoman dalam merumuskan rangking prioritas program pada daerah tertinggal. pengembangan wilayah tertinggal tidak hanya disalurkan atau diwujudkan melalui pembangunan fisik saja, akan tetapi sebelum melakukan pembangunan fisik, pembangunan masyarakat dapat dilaksanakan lebih dulu. Keberhasilan pembangunan masyarakat akan menunjang perkembangan wilayah sehingga program pengembangan wilayah tertinggal dapat berjalan masksimal dan masyarakat tidak lagi bergantung dengan bantuan dana dari pemerintah, dapat dikatakan masyarakat tidak berlama-lama berada dalam zona exist strategy, tapi segera berada pada zona exit strategy. Semoga..

Minggu, 11 November 2012

Gerakan Infrastruktur Hijau dalam Mewujudkan Pembangunan Kota Berkelanjutan


 
Penurunan kualitas lingkungan perkotaan disebabkan karena kualitas udara semakin  tercemar dengan polusi kendaraan, polusi industri, air bersih semakin mahal dan sulit ditemukan, banjir dan serta kualitas sanitasi perkotaan semakin berbahaya bagi kesehatan. Situasi buruk ini semakin diperparah dengan semakin berkurangnya ruang terbuka hijau (RTH) perkotaan. Pembangunan saat ini lebih mengutamakan ruang materialis dibanding ruang humanis bagi warga kota, dampaknya adalah tidak ada lagi ruang dalam kota berfungsi sebagai ruang “hijau”.  Kota semakin penuh sesak dengan bangunan komersil, meningkatnya mobilitas warga kota mempengaruhi juga tingginya jumlah kepemilikan kendaraan pribadi sehingga proporsi antara lebar dan panjang jalan tidak lebih besar dibandingkan dengan jumlah kendaraan yang semakin bertambah setiap harinya. Maka tidak heran jika pemandangan lazim perkotaan saat ini dapat kita sebut “Car Habitat”.
Car Habitat

Transportasi sangat erat kaitannya dengan penggunaan lahan, semakin padat dan terkosentrasinya fungsi pelayanan publik pada satu koridor jalan, maka intensitas/bangkitan lalu lintas juga semakin tinggi pada koridor jalan tersebut. Di satu sisi pembangunan fasilitas perkotaan untuk kegiatan komersil telah mengurangi luasan ruang terbuka hijau. Pembangunan kota berkelanjutan seringkali menggunakan kata “green” sebagai “lip service” agar proyek pembangunan semakin laris dan familiar sebagai proyek peduli lingkungan (katanya). Saat ini proyek “hijau”  lebih banyak didesain dan diwujudkan pada perumahan elit seperti real estate. Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan yang sehat itu hanya bisa ditemukan bagi warga kota yang tinggal di perumahan real estate. Proyek hijau bagi seluruh warga kota sepertinya sangat sulit untuk diwujudkan. Proyek hijau semakin ter-privatisasi, ruang hijau untuk warga kota dibabat habis untuk pembangunan kegiatan komersil dagang dan jasa yang memicu tingginya angka pengguna kendaraan di jalan raya setiap hari.
Mewujudkan kota berkelanjutan harus melihat masalah perkotaan secara komprehensif, dan tidak terpisah-pisah. Penyelesaiaan masalah pada lingkungan fisik perkoataan dimulai dari penyediaan ruang terbuka hijau. Sumber permasalahan kota berawal dari semakin berkurangnya ruang terbuka hijau. Padahal manfaat ruang terbuka hijau pada dasarnya adalah untuk menjamin hak-hak warga kota untuk memperoleh udara yang segar, air bersih, ruang publik yang nyaman, terhindar dari ancaman banjir, dan sanitasi buruk. Apabila ruang terbuka hijau semakin berkurang dan tergantikan oleh bangunan komersil yang tidak terkendali, akan memicu peningkatan jumlah kendaraan karena ruang terbuka hijau yang juga berfungsi sebagai ruang publik telah digantikan dengan ruang tertutup di dalam mall.
Mengimbangi gempuran pembangunan yang ada saat ini hanya dapat diwujudkan melalui keseriusan pemerintah dalam memperketat izin pemanfaatan lahan pada daerah yang selama ini menjadi resapan air dan ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai konservasi maupun ruang publik. Mewujudkan lingkungan perkotaan yang mampu menjamin hak-hak warga kota untuk memperoleh udara yang sehat dan air bersih tidak hanya melalui perwujudan RTH (ruang terbuka hijau) saja, saat ini kita bisa melakukan inovasi melalui gerakan infrastruktur hijau. Infrastruktur hijau dapat diwujudkan dan dilakukan dengan kegiatan memanfaatkan ruang kosong yang selama ini tidak digunakan dengan menanami ruang kosong tersebut dengan tanaman. Misalnya atap rumah ditanami dengan tanaman rambat, halte atau shelter pada bagian atapnya dapat ditutupi dengan tanaman rambat. Ibaratnya infrastruktur hijau seperti kegiatan menghijaukan elemen, wadah, ruang kosong melalui jenis tanaman yang dapat disesuaikan dengan wadah, elemen dan ruang kosong tersebut. 


green infrastructure


Jumat, 09 November 2012

Menyelamatkan Kualitas Lingkungan Perkotaan dengan Mewujudkan RTH 30%


Undang-undang penataan ruang no.26 tahun 2007 merupakan hasil transformasi dari undang-undang penataan ruang no.24 tahun 1992 yang memiliki banyak kelemahan khususnya dalam regulasi perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian ruang.  Penegasan substansi materi perencanaan pada UU Penataan Ruang no.26 tahun 2007 menekankan pada isu lingkungan, mitigasi bencana serta penambahan cakupan penataan ruang yang memasukkan “ruang dalam bumi” sebagai bagian dalam penataan ruang.


Aturan dan ketentuan yang menjadi tugas pokok penyelenggara tata ruang untuk melestarikan lingkungan perkotaan adalah mewujudkan RTH 30% untuk daerah perkotaan. RTH 30% memiliki tujuan untuk memperbanyak daerah resapan air, sehingga suatu kota tidak terkena dampak banjir akibat kurangnya daerah resapan air. RTH 30% juga dimaksudkan untuk menjaga kualitas air bersih bagi penduduk warga kota, mengurangi polusi udara melalui tanaman pengisap debu dan menciptakan lingkungan kota yang lebih sehat bagi warga kota. Lingkungan yang sehat mampu mengurangi tingkat stres warga kota akibat kondisi kota yang sudah tidak nyaman untuk bertempat tinggal.


London Sky from Primrose Hill


Perwujudan lingkungan perkotaan yang sangat kondusif dari segi kenyamanan, dan kesehatan telah dilaksanakan di negara Singapura. Negara Singapura memiliki aturan yang cukup ketat terhadap pembangunan diatas lahan milik pemerintah. Semua jenis bangunan yang terbangun telah diatur dan direncanakan sesuai dengan rencana yang telah dibuat oleh lembaga otoritas pemerintah Singapura yang menangani permasalahan kota yakni Urban Redevelopment Authority (URA). Dengan adanya aturan tersebut, pemerintah tidak bisa berbuat seenaknya dalam mengeluarkan dan dan memberi izin penggunaan lahan bagi pihak swasta apalagi masyarakat untuk mendirikan bangunan diluar ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah Singapura. Bahkan saat ini pemerintah Singapura telah menerapkan Zoning Regulation sebagai instrumen dalam pengendalian pemanfaatan ruang.
Keberhasilan pemerintah Singapura dalam mewujudkan RTH kota dan pengendalian pemanfaatan ruang melalui zoning regullation bisa saja menjadi bahan perbandingan bagi kota-kota di Indonesia dengan memahami potensi dan kendala kota terlebih dahulu. Solusi untuk pemecahan permasalahan kota di Indonesia belum tentu sama dengan kota lain, mengingat sumber daya dan kondisi alam serta perilaku setiap warga kota memiliki keragaman dan cara pandang yang berbeda melihat perkembangan kotanya merupakan tanggung jawab bersama pemerintah, swasta dan masyarakat. Oleh karena itu dalam rencana tata ruang setiap daerah/kab/kota hendaknya menyesuaikan dengan kondisi wilayah setempat, format dokumen perencanaan yang ada selama ini hampir sama dengan semua daerah di Indonesia. Sehingga kita tidak mampu menemukan permasalahan utama daerah tersebut, akibatnya banyak rencana bersifat normatif dan sulit diimplementasikan. 
















Popular