Ilustrasi:rgbstock.com
Meskipun dia laki-laki, jika memiliki sifat keperempuanan, dia adalah perempuan; dan perempuan, yang memiliki sifat kelaki-lakian, adalah lelaki (mau’ni waraoane’mua na makkunrai sipa’na, makkunrai mui; mau’ni makkunrai na waroane’sipa’na, waroane mui) (Pelras, 2003:186)
Jika
beberapa tahun silam kehidupan transgender belum mendapat perhatian publik dan
diekspose secara mendalam, bisa disebabkan karena sebagian besar masyarakat
masih menganggap tabu seseorang yang memutuskan untuk menjadi seorang
transgender. Dipandang dari sisi agama, transgender tidak mendapat pembenaran
bahkan transgender dianggap sebagai suatu penyimpangan seksual. Bahkan banyak
dari mereka terpaksa merahasiakan “jatidiri” transgendernya agar tidak
mengalami pengucilan dari keluarga dan masyarkat. Transgender bukan kesalahan genetik yang
dibawa sejak lahir, kebanyakan yang melakukan transgender adalah karena
pengaruh lingkungan sosial dan gaya hidup. Pengalaman masalalu dan lingkungan
yang membentuk kepribadian transgender sewaktu kecil memberi pengaruh besar
terhadap pembentukan sifat dan karakter sehingga mengangap bahwa naluri yang
ada dalam diri “transgender” bertolak belakang dengan bentuk fisik pada tubuh
transgender.
“Terjebak” dalam ciri-ciri fisik sebagai seorang pria namun memiliki
naluri wanita merupakan salah satu tekanan psikologis yang dialami para
transgender. Lantas bagaimana dengan bissu?, komunitas Bissu di Sulawesi
Selatan dianggap sebagai pendeta atau wanita adam yang menjadi perantara
manusia dan dewata. Penampilan sehari-hari para bissu berdandan dan
berpenampilan layaknya seorang wanita. Mereka yang memilih menjadi bissu, tidak
ada ada korelasi dengan naluri wanita yang mendominasi dalam tubuh pria,
melainkan karena mendapat petunjuk melalui mimpi dan memiliki kelebihan khusus
dibandingkan dengan pria pada umumnya.
(gambar:www.timur-angin.com)
“Terjebak” dalam ciri-ciri fisik sebagai seorang pria namun memiliki
naluri wanita merupakan salah satu tekanan psikologis yang dialami para
transgender. Lantas bagaimana dengan bissu?, komunitas Bissu di Sulawesi
Selatan dianggap sebagai pendeta atau wanita adam yang menjadi perantara
manusia dan dewata. Penampilan sehari-hari para bissu berdandan dan
berpenampilan layaknya seorang wanita. Mereka yang memilih menjadi bissu, tidak
ada ada korelasi dengan naluri wanita yang mendominasi dalam tubuh pria,
melainkan karena mendapat petunjuk melalui mimpi dan memiliki kelebihan khusus
dibandingkan dengan pria pada umumnya.
Masyarakat Bugis bahkan
menempatkan “bissu” secara berimbang dalam stratifikasi sosial. Para bissu juga tidak menikah, untuk
mengendalikan libido disebutkan dalam tradisi bugis terdapat ajaran
“paneddineng parinnyameng” atau khayalan yang membawa nikmat berupa tindakan
memuaskan seks tanpa berhubungan seks. Akan tetapi keberadaan bissu saat ini
hanya menjadi komoditas, sudah tidak dianggap suci lagi. Sentimental berlebihan
dan membabibuta pada pelaku transgender dalam kehidupan bermasyarakat
menyebabkan “pengaburan” klasifikasi gender bahkan definisi gender sekalipun. Masyarakat
pada umumnya hanya menerima dua status dan jenis gender yang dianggap normal
yaitu pria dan wanita, jika ada yang “lebih” maka dianggap abnormal. Berkoar-koar
untuk kesetaraan gender juga nampaknya tidak berlaku bagi transgender.
Sikap ekstrimis yang terbentuk
terhadap sesuatu yang dianggap “abnormal” menyebabkan masyarakat tidak memiliki
kesempatan untuk mengenal, memahami apalagi menerima. Akibatnya adalah secara
sadar atau tidak kita telah mencederai budaya adat, tradisi, dan kekayaan lokal
yang termanifestasikan dalam kehidupan bermasyarakat dalam wujud tidak biasa
seperti lakon Bissu. Keberadaan Bissu merupakan representasi nilai
sosio-kultural masyarakat Bugis yang memiliki peran besar dalam melestarikan
adat serta menjadi simbol kesucian. Penyerobotan dalam penyematan status gender
dalam masyarakat telah menimbulkan kemerosotan cara pandang terhadap kearifan
lokal yang berkaitan dengan “klasifikasi gender”. Tidak mengherankan jika
sedikit demi sedikit kebudayaan bersumber dari kearifan lokal semakin menjauh
dari kehidupan sehari-hari, pemerintah selayaknya turut andil dalam menjaga eksistensi para Bissu dan
tetap dihargai sebagai sistem nilai budaya dan filosofis yang harus dijunjung
tinggi.
0 komentar:
Posting Komentar