Minggu, 21 April 2013

“Bissu” Tergerus dalam Kegamangan Gender



Ilustrasi:rgbstock.com

Meskipun dia laki-laki, jika memiliki sifat keperempuanan, dia adalah perempuan; dan perempuan, yang memiliki sifat kelaki-lakian, adalah lelaki (mau’ni waraoane’mua na makkunrai sipa’na, makkunrai mui; mau’ni makkunrai na waroane’sipa’na, waroane mui) (Pelras, 2003:186)


       Jika beberapa tahun silam kehidupan transgender belum mendapat perhatian publik dan diekspose secara mendalam, bisa disebabkan karena sebagian besar masyarakat masih menganggap tabu seseorang yang memutuskan untuk menjadi seorang transgender. Dipandang dari sisi agama, transgender tidak mendapat pembenaran bahkan transgender dianggap sebagai suatu penyimpangan seksual. Bahkan banyak dari mereka terpaksa merahasiakan “jatidiri” transgendernya agar tidak mengalami pengucilan dari keluarga dan masyarkat.  Transgender bukan kesalahan genetik yang dibawa sejak lahir, kebanyakan yang melakukan transgender adalah karena pengaruh lingkungan sosial dan gaya hidup. Pengalaman masalalu dan lingkungan yang membentuk kepribadian transgender sewaktu kecil memberi pengaruh besar terhadap pembentukan sifat dan karakter sehingga mengangap bahwa naluri yang ada dalam diri “transgender” bertolak belakang dengan bentuk fisik pada tubuh transgender.

         “Terjebak” dalam ciri-ciri  fisik sebagai seorang pria namun memiliki naluri wanita merupakan salah satu tekanan psikologis yang dialami para transgender. Lantas bagaimana dengan bissu?, komunitas Bissu di Sulawesi Selatan dianggap sebagai pendeta atau wanita adam yang menjadi perantara manusia dan dewata. Penampilan sehari-hari para bissu berdandan dan berpenampilan layaknya seorang wanita. Mereka yang memilih menjadi bissu, tidak ada ada korelasi dengan naluri wanita yang mendominasi dalam tubuh pria, melainkan karena mendapat petunjuk melalui mimpi dan memiliki kelebihan khusus dibandingkan dengan pria pada umumnya. 


(gambar:www.timur-angin.com)


         “Terjebak” dalam ciri-ciri  fisik sebagai seorang pria namun memiliki naluri wanita merupakan salah satu tekanan psikologis yang dialami para transgender. Lantas bagaimana dengan bissu?, komunitas Bissu di Sulawesi Selatan dianggap sebagai pendeta atau wanita adam yang menjadi perantara manusia dan dewata. Penampilan sehari-hari para bissu berdandan dan berpenampilan layaknya seorang wanita. Mereka yang memilih menjadi bissu, tidak ada ada korelasi dengan naluri wanita yang mendominasi dalam tubuh pria, melainkan karena mendapat petunjuk melalui mimpi dan memiliki kelebihan khusus dibandingkan dengan pria pada umumnya.

           Masyarakat Bugis bahkan menempatkan “bissu” secara berimbang dalam stratifikasi  sosial. Para bissu juga tidak menikah, untuk mengendalikan libido disebutkan dalam tradisi bugis terdapat ajaran “paneddineng parinnyameng” atau khayalan yang membawa nikmat berupa tindakan memuaskan seks tanpa berhubungan seks. Akan tetapi keberadaan bissu saat ini hanya menjadi komoditas, sudah tidak dianggap suci lagi. Sentimental berlebihan dan membabibuta pada pelaku transgender dalam kehidupan bermasyarakat menyebabkan “pengaburan” klasifikasi gender bahkan definisi gender sekalipun. Masyarakat pada umumnya hanya menerima dua status dan jenis gender yang dianggap normal yaitu pria dan wanita, jika ada yang “lebih” maka dianggap abnormal. Berkoar-koar untuk kesetaraan gender juga nampaknya tidak berlaku bagi transgender.

          Sikap ekstrimis yang terbentuk terhadap sesuatu yang dianggap “abnormal” menyebabkan masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk mengenal, memahami apalagi menerima. Akibatnya adalah secara sadar atau tidak kita telah mencederai budaya adat, tradisi, dan kekayaan lokal yang termanifestasikan dalam kehidupan bermasyarakat dalam wujud tidak biasa seperti lakon Bissu. Keberadaan Bissu merupakan representasi nilai sosio-kultural masyarakat Bugis yang memiliki peran besar dalam melestarikan adat serta menjadi simbol kesucian. Penyerobotan dalam penyematan status gender dalam masyarakat telah menimbulkan kemerosotan cara pandang terhadap kearifan lokal yang berkaitan dengan “klasifikasi gender”. Tidak mengherankan jika sedikit demi sedikit kebudayaan bersumber dari kearifan lokal semakin menjauh dari kehidupan sehari-hari, pemerintah selayaknya turut  andil dalam menjaga eksistensi para Bissu dan tetap dihargai sebagai sistem nilai budaya dan filosofis yang harus dijunjung tinggi.



0 komentar:

Posting Komentar