Rekomendasi Hari Ini
Tulisan Terbaru

Sabtu, 08 Juni 2013

Anak berbakat “dibuang” sayang

Sumber Ilustrasi: psikologmalang.com

Setiap anak akan menunjukkan ketertarikan dan minatnya sejak dini, bahkan jika orangtua jeli melihat potensi tersebut dan mampu mendorong anak untuk mengasah potensinya, seorang anak akan tumbuh menjadi anak berbakat. Berbagai ajang kompetisi bakat di Indonesia saat ini telah memberi ruang bagi anak untuk mengembangkan potensi, minat, ketertarikan dan bakat. Melalui ajang tersebut kita semakin menyadari bahwa begitu banyak anak-anak berbakat yang dimiliki bangsa ini, dengan bidang yang cukup beragam pula, sebut saja penabuh drum cilik JP Milenix, Sandrina (penari), dan masih banyak lagi anak-anak berbakat lainnya.

Orangtua yang mampu mengarahkan seorang anak menemukan wadah pengembangan potensi diri sang anak bisa dikatakan bahwa orangtua berhasil menjaga bakat-bakat luar biasa anak mereka. Lantas bagaimana dengan orangtua yang masih mengutamakan pendapat dan sudut pandang pribadi dalam menentukan bahkan menetapkan minat tertentu pada sang anak, sedangkan anak tersebut tidak memiliki ketertarikan sama sekali?. 

Sebagian orangtua masih menganggap bahwa ketertarikan anak dibidang eksakta akan membantu anak mereka dalam berprestasi dimasa yang akan datang, akibatnya bakat seni atau bakat lain diluar bidang eksak dianggap sekadar hobi untuk mengisi waktu luang anak. Belum lagi jika anak harus mengikuti beragam les/kursus sehabis pulang sekolah, anak tidak lagi memiliki waktu luang untuk lebih fokus mengembangkan bakatnya.

Kondisi ini menyebabkan anak urung untuk berterus terang tentang minat mereka, padahal anak tersebut berbakat. Kediktatoran orangtua dalam menentukan masadepan anak melalui pengabaian bakat anak sama saja bahwa orangtua telah membuang bakat tersebut. salah satu film Bollywood yang cukup menginspirasi dalam bidang pendidikan adalah 3 Idiot. Film ini mengisahkan perjalanan tiga anak muda dalam memwujudkan cita-cita ditengah “konflik” sudut pandang orangtua dan anak.

Salah satunya, dikisahkan ketika salah seorang anak memiliki bakat dan ketertarikan dibidang fotografi justru “dipaksa” masuk perguruan tinggi bidang teknik. Anak tersebut akhirnya menjalankan rutinitas kuliah sekadar mengikuti kemauan orangtua, pada akhirnya nilai si anak selalu berada diurutan paling bawah. Kondisi ini menyebabkan anak semakin depresi dan putus asa, menganggap bahwa tidak ada lagi yang dapat dia kerjakan dalam hidupnya.

Universitas di Dhaka, Bangladesh bahkan berniat mendatangkan psikiater khusus mengingat bahwa angka bunuh diri di universitas tersebut cukup tinggi, salah satunya adalah karena persaingan nilai akademik. Sedangkan di Jepang jumlah angka penduduk yang melakukan bunuh diri selalu bertambah setiap tahun, pada tahun 2010 meningkat menjadi 20% dari tahun sebelumnya. Sebagian besar masyarakat yang bunuh diri adalah pengangguran, sebelumnya adalah mahasiswa.

Di daerah saya, salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan, sebagian orangtua memang masih memiliki karakter otoriter dalam menentukan pilihan profesi untuk anak, bahkan pada lingkup keluarga saya sendiri masih menganut sudut pandang seperti itu. Profesi sebagai tenaga teknis dibidang kesehatan dan kepolisian serta sekolah kedinasan lainnya dianggap sebagai profesi “terhormat” dan menjanjikan sehingga orangtua lebih banyak mengarahkan anak untuk mengejar peluang pada profesi tersebut, sekalipun sebagian anak bisa saja tidak memiliki bakat pada profesi ini.

Berdasarkan sudut pandang orangtua sebagian besar beranggapan bahwa ketertarikan anak dibidang lain yang tidak ada hubungannya dengan usaha untuk mendapatkan peluang pada profesi strategis tersebut, dinilai hanya membuang waktu. Jadi tidak heran apabila ada anak yang cenderung berbakat dibidang seni ketika digenjot dengan kursus dan les untuk bidang eksak akan merasa paling bodoh diantara teman-teman yang lain. Anak-anak ini tidak mampu bersaing dengan teman lain yang memiliki bakat dibidang eksak, sehingga tingkat depresi anak menjadi lebih tinggi.


Sekiranya dapat menjadi bahan refleksi orangtua adalah bagaimana jika seandainya orangtua Wolfgang Amdeus Mozart memaksa Mozart menjadi dokter atau ilmuan? Mozart salah satu anak jenius, dan telah memainkan piano sejak usia 3 tahun Atau Albert Einstein yang terkenal dengan teori relativitasnya dipaksa menjadi seorang pianis?. Beruntung dan bersyukur bahwa kedua sosok legenda sepanjang masa ini memilih untuk mengembangkan bakat mereka dan akhirnya menjadi orang besar karena kontribusi luar biasa yang telah disumbangkan untuk peradaban dunia. Lantas untuk orangtua sekalian, masih sangsikah dengan kemampuan dan bakat anak Anda? _^^_

Jumat, 07 Juni 2013

Merindu Tuhan


Tuhan..saya merasa seperti tidak mengenal diri saya sendiri. Ada beberapa kejadian yang membuat jiwa ini serasa terombang ambing, dan kebingungan. Engkau di mana Tuhan? Perasaan ini semakin menyiksa, ingin kutemukan hidupku yang dulu. Sekalipun kumenyadari sepenuhnya bahwa tak ada gunanya mengenang masa lalu. Tapi masa laluku adalah diriku, sedangkan yang nampak pada diriku saat ini hanya kamuflase, terlalu banyak penyesuaian. Salahkah aku Tuhan?, ingin kutemukan kembali Jalan-Mu, karena dengan menemukan Jalan-Mu maka aku akan menemukan diriku kembali.

Jika hatiku tidak menemukan-Mu maka temukanlah diriku dengan kasih-Mu. Dalam sepi aku tidak menemukan ketenangan apapun, malah kumencari keramaian dimana aku merasakan begitu banyak warna. Sekalipun kuketahui diriku bukanlah pemuja keramaian, namun saat ini keramaian justru memberikan keteduhan sesaat setelah tak kutemukan ketenangan/kedamaian dalam sepi. Ada apa dengan diri ini Tuhan?, Engkau Sang Pemilik lebih tahu jawabannya, tentang rencana-Mu atas hidupku diatas tanah ini. Aku merindukan belaian tangan orangtuaku Tuhan, selain kedamaian dari-Mu, kedamaian dari kedua orangtuaku mampu mengurai beban hatiku.

Haruskah kuberlari lagi menemukan tempat yang jauh dari ragam manusia yang membuatku kebingungan dengan polah dan tingkah mereka? Atau diri ini yang terlalu naïf, melihat segalanya begitu sederhana. Inikah hidup Tuhan? Ada pertaruhan didalamnya, menguji kebesaran hati untuk menerima semua rencana-Mu. Dimanakah kedamaian itu sesungguhnya berada? Banyak yang mengatakan bahwa kebahagiaan ada karena kita mampu menghadirkannya, bukan karena bantuan orang lain. Karena kebahagiaan kita tidak mungkin sama dengan kebahagiaan orang lain.


Selalu kunanti jawaban-Mu Tuhan, dan sambutlah manusia angkuh ini yang terkadang meragukan kebesaran-Mu. Manusia yang hidupnya bergantung atas kesempurnaan fisik yang Engkau titipkan. Tawar menawarku mungkin tidak etis, tapi inilah caraku agar Doa’ku menarik perhatian-Mu. Doaku tidak cukup berkelas dengan doa mereka yang memiliki kualitas ibadah mahasempurna. Maka kuputuskan melalui doa kontroversiku ini, Engkau mampu menjawab kegelisahan dan sekaratku. Aku tidak sedang menjadikan-Mu tokoh imajinasi liarku, tidak sama sekali, Aku hanya mengharapkan Dzat Mahaesa dan Maha Penyayang. Hadirlah Tuhanku

Rabu, 05 Juni 2013

Gedung Kesenian Makassar,bioskop alternatif untuk film lokal?

Gedung Kesenian Sulsel Societeit de Harmonie (gambar: http://panduanwisata.com/)

Geliat perkembangan dunia perfilman di Indonesia semakin menunjukkan tingkat keberagaman, khususnya film durasi pendek. Anak-anak muda yang terlibat langsung dalam penggarapan maupun pemilihan ide cerita menunjukkan kejelian mereka dalam merespon fenomena sekitar yang memiliki topik menarik untuk dijadikan sebagai ide utama. Sineas muda Makassar telah menghasilkan beberapa film pendek yang cukup mendapat apresiasi luas masyarakat Makassar, beberapa diantaranya adalah Aliguka, Cindolo na Tape, Memburu Harimau dan yang terbaru adalah Rindu Randa karya Rusmin Nuryadin.

Melihat peluang dan potensi dari bakat sineas Makassar maka untuk mewadahi kegiatan perfilman seperti lokakarya, workshop, pemutaran dan produksi film saat ini telah direncanakan pembangunan Rumata’ artspace Makassar. Rumata’ merupakan inisiatif sutradara Riri Riza dan penulis Lily Yulianti Farid. Target di masa yang akan datang adalah melalui Rumata’ artspace Makassar menjadi wadah bagi anak muda Makassar dalam mengembangkan kegiatan seni dan budaya serta kegiatan perfilman.

Meningkatkan performa karya sineas muda tentu membutuhkan dukungan penuh dari pemerintah dan apresiasi masyarakat luas. Tujuannya adalah untuk mengukur seberapa besar minat masyarakat terhadap karya yang mereka hasilkan, hal tersebut akan berimplikasi terhadap kualitas film mereka selanjutnya. Pemutaran film pendek seperti ini dapat memanfaatkan gedung kesenian untuk menghidupkan kembali fungsi gedung kesenian selain menjadi gedung bioskop alternatif juga.


Menonton film lokal di gedung kesenian tidak perlu dinilai sebagai sesuatu yang kurang berkelas, bahwa hanya film tertentu yang mampu masuk bioskop besar. Pemutaran film di gedung kesenian mengembalikan atmosfir pemutaran film pada era tahun 80-an, selain menjadi strategi pasar bahkan tren baru ditengah masyarakat. Terobosan ini juga diharapakan mampu mengenalkan dan mengakrabkan kembali kepada masyarakat tentang gedung kesenian di tempat tinggal mereka disamping karena gedunga kesenian saat ini banyak yang terbengkalai dan tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Inovasi dan terobosan baru untuk meningkatkan animo masyarakat memanfaatkan gedung kesenian salah satunya bisa ditempuh dengan mengadakan pemutaran film di gedung kesenian. 

Popular