Kamis, 30 Mei 2013

“KUE” Urbanisasi bukan hanya untuk Pemkot DKI


sumber gambar: http://1.bp.blogspot.com/

Perkembangan dan kemajuan kota menyebabkan tingginya laju urbanisasi secara besar-besaran dalam jangka waktu relatif singkat. Urbanisasi akhirnya menjadi masalah apabila kemampuan sumberdaya perkotaan terutama dalam bidang ketenagakerjaan sudah tidak sebanding dengan laju urbanisasi. Dampak negatifnya adalah daya tamping dan daya dukung lingkungan semakin menurun akibat pertumbuhan penduduk dan laju urbanisasi yang semakin tidak terbendung.

Kota besar seperti Jakarta merupakan kota dengan laju urbanisasi tertinggi, sedangkan daya dukung lingkungan kota Jakarta sendiri mengalami penurunan secara signifikan. Penurunan daya dukung lingkungan disebabkan karena terjadinya kesenjangan antara sumber daya yang tersedia sudah tidak sebanding dengan permintaan yang ada. Jakarta akhirnya harus menampung beban perkotaan yang semakin bertambah setiap hari.

Menekan laju urbanisasi telah dilakukan oleh pemerintah Jakarta dengan memulangkan warga pendatang yang tidak memiliki bekal keterampilan dan jaminan perolehan kerja di Jakarta, hanya saja kebijakan ini dinilai kurang efektif, karena disatu sisi kebijakan ini dianggap terlalu radikal dan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan.

Menengok negara Brasil, salah satu kota yang dinilai berhasil menyelesaikan seluruh permasalahan kota yakni kota Curitiba, pemerintah Curitiba mengalami kepadatan populasi dalam kota meningkat tiga kali lipat sejak tahun 1960 – 2008. Kenaikan laju populasi penduduk hingga tiga kali lipat diikuti dengan kebijakan menyediakan ruang hijau dari 1 km² menjadi 50 km² per penduduk. Strategi pertumbuhan penduduk yang mampu menyiasati kepadatan penduduk sekaligus melindungi ruang hijau menjadi solusi untuk mengatasi masalah urbanisasi di Kota Curitiba. Beberapa kebijakan khususnya dalam kota Jakarta yang bisa diterapkan untuk mengatasi masalah urbanisasi di Kota Jakarta adalah:
1.    Deportasi regional
Kebijakan ini metodenya mirip dengan kegiatan deportasi antar negara, bedanya istilah ini diterapkan untuk skala regional. Warga pendatang (non wisatawan) yang tidak memiliki rumah/tempat tinggal serta pekerjaan di Jakarta wajib dipulangkan ke daerah asal.
2.    Pembatasan Jumlah keluarga
Warga pendatang yang bekerja di Jakarta tidak diperkenankan membawa serta anggota keluarga lain untuk tinggal di Jakarta tanpa tujuan dan kepentingan yang jelas.
3.    Batas Waktu
Warga pendatang di Jakarta khususnya warga yang bekerja di Jakarta memiliki batas waktu menetap sekitar 5-7 tahun.
4.    Pajak Tinggal
Pajak ini juga berlaku untuk warga pendatang yang bekerja, selama tinggal di Jakarta wajib mengeluarkan biaya berupa pajak sebagai kompensasi atas lahan yang diperoleh selama jangka waktu yang telah ditentukan.
Untuk mengurangi laju pertumbuhan pencari kerja di Jakarta maka langkah yang harus ditempuh adalah:
1.    Kerjasama wilayah :
Pemerintah Jakarta tidak sendiri dalam menyelesaikan permasalahan urbanisasi, pemerintah di luar wilayah administratif Kota Jakarta ikut bertanggung jawab dan memikirkan bersama masalah urbanisasi tersebut.
2.    Home Industri
Pemerintah bersama pihak swasta mengembangkan kegiatan home industri, istilah bagi pekerja HI adalah pekerja tidak langsung. Pekerja bisa menyelesaikan produksi di rumah masing-masing untuk mengurangi pergerakan ke lokasi pabrik.
3.    Non Privatisasi
Membatasi kepemilikikan lahan dalam jumlah besar pada kawasan strategis di pusat kota, untuk menghindari perubahan fungsi lahan yang menyebabkan tingginya “bangkitan dan tarikan transportasi” akibat perubahan fungsi lahan dari lahan privatisasi.

Beberapa kebijakan yang telah disebutkan tentu membutuhkan banyak penyesuaian dan akan bersinggungan dengan kebijakan dan kepentingan publik. Terlepas dari kompleksitas keseluruhan masalah urbanisasi, satu hal yang perlu ditekankan adalah urbanisasi tidak hanya berkutan pada persoalah penduduk saja, melainkan andil pemerintah dalam hal pengambilan keputusan dan kebijakan daerah terkait kebijakan perekonomian dan arah pembangunan daerah akan berpengaruh terhadap urbanisasi.


Pola pikir tentang kota Jakarta perlu dikritisi kembali, Jakarta bukan tempat mengadu nasib, jika Jakarta sudah siap untuk menjadi ibukota negara, maka kedepannya Jakarta hanya akan menjadi ibukota negara dengan fungsi-fungsi pelayanan pendukung. Pembangunan dan pemerataan perekonomian mutlak dilakukan di daerah bukan sebaliknya malah menjadikan Jakarta sebagai pusat seluruh kegiatan seperti bisnis, perdagangan dan jasa.

0 komentar:

Posting Komentar