Senin, 27 Mei 2013

Menulis, terapi kemarahan?

ilustrasihttp://astrianin.files.wordpress.com/

Mungkin tidak salah jika ada yang mengatakan bahwa menahan amarah bukan perkara yang mudah, pada akhirnya kita memang merasa lega setelah meluapkan kemarahan, akan tetapi dampak setelah meluapkan kemarahan atau kekesalan terkadang membuat diri merasa menyesal atas apa yang telah kita lakukan. Dampak positifnya adalah kita menyadari kelemahan diri dan mengakui bahwa pengendalian diri kita masih kurang. Kejadian yang terlihat begitu sepele dapat memicu kekesalan hingga menyebabkan kemarahan, hingga sengaja atau tidak kita mengeluarkan kata-kata yang tidak sepantasnya untuk diucapkan.

Berbagai literatur telah menyebutkan beberapa hal yang dapat dilakukan untuk meredam amarah, salah satunya adalah mengalihkan fokus perhatian atau meninggalkan tempat yang dapat memicu kemarahan. Beberapa kejadian yang saya alami terkadang membuat diri saya begitu emosi dan marah, saya memilih pergi dan berdiam diri untuk beberapa jam, setelah merasa lebih tenang saya kembali berkumpul bersama teman-teman. Namun kejadian semalam membuat saya tiba-tiba emosi begitu saja hingga menyebabkan munculnya perilaku spontanitas yang tidak pantas untuk dilakukan.

Menyadari hal  tersebut saya akhirnya mengakui bahwa reaksi berlebihan terkadang tidak sebanding dengan kejadian sebenarnya. Beberapa hal bisa memicu kemarahan salah satunya adalah kondisi psikologi sebelum kejadian bisa menjadi penyebab utama. Bisa karena masalah pekerjaan atau masalah lain yang menguras energi, akibatnya ketika menemui kejadian yang tidak sesuai dengan harapan, diri akan menumpahkan segala kekesalan. Dapat dikatakan bahwa marah sedikit mirip dengan curhat hanya saja beda rasa,beda intonasi dan beda gaya penyampaian.

Pelajaran penting yang saya rasakan adalah bagaimana mengembalikan kepercayaan diri setelah meluapkan kemarahan. Meluapkan kemarahan hingga menyebabkan munculnya perilaku kurang menyenangkan sehingga menyebabkan pelaku “kemarahan” merasa menyesal berlebihan bahkan melimpahkan semua kesalahan pada diri sendiri. Padahal marah bukan karakter, melainkan sebuah proses sebab akibat, oleh karena itu saya memilih untuk memulai pekerjaan baru yang saya senangi, pekerjaan yang menonjolkan potensi diri, agar tidak terus menerus menyalahkan diri sendiri, menulis bisa jadi alternatif, dengan menulis pikiran akan fokus dan mungkin saja tindakan ini termasuk “terapi” untuk mengembalikan stabilitas emosi dan kontrol diri.  

Dengan melakukan pekerjaan seperti itu kita bisa kembali menghargai diri, dan membuka pikiran positif untuk mulai merenungi kekurangan dalam diri sehingga kedepannya kita bisa mengontrol perilaku dengan bijaksana. Merenungi sebuah kesalahan pasca kejadian tidak membawa efek signifikan, justru hanya membuat diri merasa tertekan, tidak ada salahnya merenungi masalah ketika tubuh sudah kembali fit dan pikiran sudah jauh lebih tenang. Mari mencoba… 

2 komentar:

Unknown mengatakan...

boljug ni ...


jangan suka marah-marah makanya mbak ... :))

Unknown mengatakan...

hehehe...iya fan..terimakasih

Posting Komentar