ilustrasi: http://astrianin.files.wordpress.com/
Mungkin tidak salah jika ada
yang mengatakan bahwa menahan amarah bukan perkara yang mudah, pada akhirnya
kita memang merasa lega setelah meluapkan kemarahan, akan tetapi dampak setelah
meluapkan kemarahan atau kekesalan terkadang membuat diri merasa menyesal atas
apa yang telah kita lakukan. Dampak positifnya adalah kita menyadari kelemahan
diri dan mengakui bahwa pengendalian diri kita masih kurang. Kejadian yang
terlihat begitu sepele dapat memicu kekesalan hingga menyebabkan kemarahan,
hingga sengaja atau tidak kita mengeluarkan kata-kata yang tidak sepantasnya
untuk diucapkan.
Berbagai literatur telah
menyebutkan beberapa hal yang dapat dilakukan untuk meredam amarah, salah
satunya adalah mengalihkan fokus perhatian atau meninggalkan tempat yang dapat
memicu kemarahan. Beberapa kejadian yang saya alami terkadang membuat diri saya
begitu emosi dan marah, saya memilih pergi dan berdiam diri untuk beberapa jam,
setelah merasa lebih tenang saya kembali berkumpul bersama teman-teman. Namun kejadian
semalam membuat saya tiba-tiba emosi begitu saja hingga menyebabkan munculnya perilaku
spontanitas yang tidak pantas untuk dilakukan.
Menyadari hal tersebut saya akhirnya mengakui bahwa reaksi
berlebihan terkadang tidak sebanding dengan kejadian sebenarnya. Beberapa hal
bisa memicu kemarahan salah satunya adalah kondisi psikologi sebelum kejadian
bisa menjadi penyebab utama. Bisa karena masalah pekerjaan atau masalah lain
yang menguras energi, akibatnya ketika menemui kejadian yang tidak sesuai
dengan harapan, diri akan menumpahkan segala kekesalan. Dapat dikatakan bahwa
marah sedikit mirip dengan curhat hanya saja beda rasa,beda intonasi dan beda
gaya penyampaian.
Pelajaran penting yang saya
rasakan adalah bagaimana mengembalikan kepercayaan diri setelah meluapkan
kemarahan. Meluapkan kemarahan hingga menyebabkan munculnya perilaku kurang
menyenangkan sehingga menyebabkan pelaku “kemarahan” merasa menyesal berlebihan
bahkan melimpahkan semua kesalahan pada diri sendiri. Padahal marah bukan
karakter, melainkan sebuah proses sebab akibat, oleh karena itu saya memilih
untuk memulai pekerjaan baru yang saya senangi, pekerjaan yang menonjolkan
potensi diri, agar tidak terus menerus menyalahkan diri sendiri, menulis bisa
jadi alternatif, dengan menulis pikiran akan fokus dan mungkin saja tindakan
ini termasuk “terapi” untuk mengembalikan stabilitas emosi dan kontrol diri.
Dengan melakukan pekerjaan
seperti itu kita bisa kembali menghargai diri, dan membuka pikiran positif
untuk mulai merenungi kekurangan dalam diri sehingga kedepannya kita bisa
mengontrol perilaku dengan bijaksana. Merenungi sebuah kesalahan pasca kejadian
tidak membawa efek signifikan, justru hanya membuat diri merasa tertekan, tidak
ada salahnya merenungi masalah ketika tubuh sudah kembali fit dan pikiran sudah
jauh lebih tenang. Mari mencoba…
2 komentar:
boljug ni ...
jangan suka marah-marah makanya mbak ... :))
hehehe...iya fan..terimakasih
Posting Komentar