Sumber Ilustrasi: psikologmalang.com
Setiap
anak akan menunjukkan ketertarikan dan minatnya sejak dini, bahkan jika
orangtua jeli melihat potensi tersebut dan mampu mendorong anak untuk mengasah
potensinya, seorang anak akan tumbuh menjadi anak berbakat. Berbagai ajang
kompetisi bakat di Indonesia saat ini telah memberi ruang bagi anak untuk
mengembangkan potensi, minat, ketertarikan dan bakat. Melalui ajang tersebut
kita semakin menyadari bahwa begitu banyak anak-anak berbakat yang dimiliki
bangsa ini, dengan bidang yang cukup beragam pula, sebut saja penabuh drum
cilik JP Milenix, Sandrina (penari), dan masih banyak lagi anak-anak berbakat
lainnya.
Orangtua
yang mampu mengarahkan seorang anak menemukan wadah pengembangan potensi diri
sang anak bisa dikatakan bahwa orangtua berhasil menjaga bakat-bakat luar biasa
anak mereka. Lantas bagaimana dengan orangtua yang masih mengutamakan pendapat
dan sudut pandang pribadi dalam menentukan bahkan menetapkan minat tertentu
pada sang anak, sedangkan anak tersebut tidak memiliki ketertarikan sama
sekali?.
Sebagian
orangtua masih menganggap bahwa ketertarikan anak dibidang eksakta akan
membantu anak mereka dalam berprestasi dimasa yang akan datang, akibatnya bakat
seni atau bakat lain diluar bidang eksak dianggap sekadar hobi untuk mengisi
waktu luang anak. Belum lagi jika anak harus mengikuti beragam les/kursus
sehabis pulang sekolah, anak tidak lagi memiliki waktu luang untuk lebih fokus
mengembangkan bakatnya.
Kondisi
ini menyebabkan anak urung untuk berterus terang tentang minat mereka, padahal
anak tersebut berbakat. Kediktatoran orangtua dalam menentukan masadepan anak
melalui pengabaian bakat anak sama saja bahwa orangtua telah membuang bakat
tersebut. salah satu film Bollywood yang cukup menginspirasi dalam bidang
pendidikan adalah 3 Idiot. Film ini
mengisahkan perjalanan tiga anak muda dalam memwujudkan cita-cita ditengah
“konflik” sudut pandang orangtua dan anak.
Salah
satunya, dikisahkan ketika salah seorang anak memiliki bakat dan ketertarikan
dibidang fotografi justru “dipaksa” masuk perguruan tinggi bidang teknik. Anak
tersebut akhirnya menjalankan rutinitas kuliah sekadar mengikuti kemauan
orangtua, pada akhirnya nilai si anak selalu berada diurutan paling bawah.
Kondisi ini menyebabkan anak semakin depresi dan putus asa, menganggap bahwa
tidak ada lagi yang dapat dia kerjakan dalam hidupnya.
Universitas
di Dhaka, Bangladesh bahkan berniat mendatangkan psikiater khusus mengingat
bahwa angka bunuh diri di universitas tersebut cukup tinggi, salah satunya adalah
karena persaingan nilai akademik. Sedangkan di Jepang jumlah angka penduduk
yang melakukan bunuh diri selalu bertambah setiap tahun, pada tahun 2010
meningkat menjadi 20% dari tahun sebelumnya. Sebagian besar masyarakat yang
bunuh diri adalah pengangguran, sebelumnya adalah mahasiswa.
Di
daerah saya, salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan, sebagian
orangtua memang masih memiliki karakter otoriter dalam menentukan pilihan
profesi untuk anak, bahkan pada lingkup keluarga saya sendiri masih menganut
sudut pandang seperti itu. Profesi sebagai tenaga teknis dibidang kesehatan dan
kepolisian serta sekolah kedinasan lainnya dianggap sebagai profesi “terhormat”
dan menjanjikan sehingga orangtua lebih banyak mengarahkan anak untuk mengejar
peluang pada profesi tersebut, sekalipun sebagian anak bisa saja tidak memiliki
bakat pada profesi ini.
Berdasarkan
sudut pandang orangtua sebagian besar beranggapan bahwa ketertarikan anak
dibidang lain yang tidak ada hubungannya dengan usaha untuk mendapatkan peluang
pada profesi strategis tersebut, dinilai hanya membuang waktu. Jadi tidak heran
apabila ada anak yang cenderung berbakat dibidang seni ketika digenjot dengan
kursus dan les untuk bidang eksak akan merasa paling bodoh diantara teman-teman
yang lain. Anak-anak ini tidak mampu bersaing dengan teman lain yang memiliki
bakat dibidang eksak, sehingga tingkat depresi anak menjadi lebih tinggi.
Sekiranya
dapat menjadi bahan refleksi orangtua adalah bagaimana jika seandainya orangtua
Wolfgang
Amdeus Mozart memaksa Mozart menjadi
dokter atau ilmuan? Mozart salah satu anak jenius, dan telah memainkan piano
sejak usia 3 tahun Atau Albert Einstein yang terkenal dengan
teori relativitasnya dipaksa menjadi seorang pianis?. Beruntung dan bersyukur
bahwa kedua sosok legenda sepanjang masa ini memilih untuk mengembangkan bakat
mereka dan akhirnya menjadi orang besar karena kontribusi luar biasa yang telah
disumbangkan untuk peradaban dunia. Lantas untuk orangtua sekalian, masih
sangsikah dengan kemampuan dan bakat anak Anda? _^^_